Rabu, 10 Mei 2017

Agama

Saya menemukan tulisan lama saya, tahun 2003. Tetapi kayaknya masih relevan untuk dibaca ulang...

AGAMA

Sebagai realitas sosial, kita kesulitan dalam menjelaskan mengapa agama yang menjanjikan kasih sayang, kedamaian, kerukunan, serta persaudaraan tiba-tiba muncul dalam wajah yang menyeramnkan: perang atas nama agama (the holy war), membinasakan sesama atas nama agama, atau pun teror dengan menggunakan simbol agama? Padahal agama acap kali dikampanyekan sebagai jalan bagi umat manusia untuk mencapai keselamatan menuju Realitas Agung (the Ultimate Reality). Tragedi kemanusiaan seperti peristiwa 11 September, Bom Bali, peperangan Israel-Palestina yang nyaris abadi itu, seolah menegasikan bahwa agama adalah jalan kedamaian.

     Berangkat dari realitas paradoksal di atas, kemudian Charles Kimball, Ketua Departemen Agama di Universitas Wake Forest, mencoba mengurai simpul-simpul kekerasan atas nama agama dalam buku When Religion Becames Evil (2003). Menurutnya, agama akan berubah menjadi bencana manakala terdapat lima pra kondisi. Pertama, bila suatu agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran yang mutlak dan satu-satunya. Klaim kebenaran (truth claim) seperti ini, menegasikan kebenaran yang mungkin terdapat dalam agama lain (out sider). Dalam pemahaman ini, out sider  adalah  kelompok sesat dan musuh Tuhan, kerenanya, harus dimusnahkan.

       Kedua, agama menjadi bahaya manakala para pengikutnya menganut prinsip ketaatan buta. Otentitas agama tidak pernah menentang intelek serta rasio manusia. Maka, Kimball mengingatkan, agar kita berhati-hati dengan ajaran-ajaran agama yang bertentangan dengan akal sehat, membatasi kebebasan intelek, membabat itegritas pengikutnya dengan menuntut ketaatan kepada tokoh kharismatik mereka. Karena bila ketaatan buta ini lahir, maka aktivitas mereka menjadi buta pula.

      Ketiga, waham idealisme para pengikut agama. Jika waham ini telah bersemayam, lahirlah upaya-upaya untuk mengusung atmosfer masa lalu yang dianggap ideal, ke masa kini. Padahal, kebutuhan zaman ideal masa lalu itu sama sekali berbeda dengan masa kini. Dalam Islam misalnya, lahirnya kelompok tertentu yang “ngotot” untuk diperlakukannya syariat Islam sebagaimana yang diberlakukan pada jaman Nabi, adalah salah satu representasi dari waham ini.

       Keempat, ketika agama tersebut merelakan dan membenarkan terjadinya “tujuan yang menghalalkan segala cara”. Dengan menyalahgunakan variabel-variebal agama, seringkali cara-cara yang digunakan bertentangan dengan tujuan itu sendiri. Misalnya, untuk mencapai kedamaian, malah ditempuh dengan peperangan.

       Kelima, ketika agama memekikkan perang suci. Kiranya tidah sulit menemukan contoh dari motivasi keberagamaan seperti ini. Tragedi 11 September masih saja menjadi bukti betapa agama tidak lagi ramah. Bahkan, bagi banyak orang di Barat, Osama bin Laden—pemimpin penyerangan tersebut—telah menjadi ikon kejahatan atas nama agama di dunia saat ini.

        Jika demikian, lantas apa yang harus diperbuat untuk mengembalikan wajah asli agama yang penuh kasih sayang, kedamaian, cinta kasih, kerukunan serta persaudaran di atas? Dalam hal ini, sebagai guru besar Studi Agama Kimball menawarkan dialog antariman sebagai salah satu solusi alternatif. Dialog ini mengandaikan hijrah dari teologi klasik-tradisional yang sempit, menuju teologi inklusif yang mempercayai rencana keselamatan umat manusia secara menyeluruh.
       
        Agama harus mengambil disposisi bahwa mungkin saja agama di luar agama kita mampu menjelaskan rencana Tuhan itu. Dus, pandangan iklusivis mengakui kehadiran dan aktivitas penyelamatan yang dilakukan Tuhan pada semua tradisi agama.

         Namun, lanjut Kimball, Langkah ini harus diawali dengan melupakan “berbagai perselisihan dan pertikaian” pada abad-abad sebelumnya untuk mendapatkan saling pengertian dan bersama-sama “menegakkan dan memajukan perdamaian, kebebasan, keadilan sosial, dan nilai-nilai moral”. Jika ini terbangun, maka nuansa keberagamaan dengan perspektif kemanusiaan akan mudah tercapai. Inilah harapan kita!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar