Sabtu, 13 Mei 2017

The Madness of Consumer Society

M Hilmi Faiq


KETIKA Gempa dan Tsunami menyapu seisi Aceh, masyarakat dunia seakan hanyut dalam kedukaan yang begitu dalam. Serentak, rasa kemanusiaan melaju mencapai puncaknya. Rasa kemanusiaan dan solidaritas dunia terhadap tragedi Tsunami sungguh luar biasa, bahkan mencapai level post-absurditas.

Namun bergantinya waktu seiring surutnya Tsunami, kepedulian tadi pun surut menuju titik normal seperti tatkala Tsunami belum menyapa. Media massa yang awalnya memberi porsi besar terhadap tragedi ini, kini mengurangi porsi pemberitaannya. Sementara masyarakat luas kembali beraktivitas seolah Korban Tsunami bukan lagi urusan mereka: sudah ada yang menangani. Mekera kembali ke titik absurditas, seperti hari-hari sebelumnya.

Absurditas (absurdity) menjelma menjadi sebuah kenyataan historis dalam kehidupan masyarakat dunia ketika kepalsuan, kepura-puraan, dan simulasi menjadi pilihan strategi di dalam berbagai panggung politik, sosial, dan kebudayaan dalam skala global. Di dalamnya, absurditas menjadi sebuah ideologi, strategi, bahkan jalan hidup-the absurdity of politics (Yasraf Amir Piliang, "Post-Absurdity", Kompas, 13/1/ 2005).

Di era post-modern ini, tonggak absurditas yang paling mencolok adalah aktivitas belanja (to consume). Lihatlah, masyarakat luas tergopoh-gopoh membeli segala hal yang sebenarnya tidak begitu mereka butuhkan fungsinya, hanya demi meningkatkan gengsi dan prestige. Perhatikan, di setiap sudut kota, aroma konsumerisme terasa begitu kuat. Mall, department store, swalayan, serta tempat sejenis lainnya penuh sesak dengan nafas-nafas manusia yang menggapai lembaran-lembaran prestige

            Di jaman ini, sulit mencari sosok yang tak doyan belanja (to consume). Terutama mereka yang berada pada puncak piramida secara ekonomi. Belanja, menjadi aktivitas vital bagi manusia sekarang, guna mencari dan mempertahankan prestige di tengah masyarakat. Tanpannya, eksistensi seseorang menjadi tereduksi. Separahkan itukah?

            Aktivitas belanja, bukan lagi menekankan pada titik fungsi sebagaimana pada awalnya, tetapi lebih merupakan simbol seseorang untuk diakui keberadaannya. Setali tiga uang dengan itu, masyarakat memang telah terseret dan terhipnotis untuk menilai manusia lain hanya dari simbol-simbol yang melekat pada dirinya. Inilah yang dikatakan Jean Baudrillard sebagai kelahiran dunia simulasi (simulacrum).

            All that is solid melts into air (Karl Marx) All that is solid melts into glass (Charles Jencks) All that is real becomes simulation (Jean Baudrillard) Semua yang nyata kini menjadi simulasi. Ungkapan bernada hiperbolik tersebut barangkali merupakan satu-satunya cara untuk menggambarkan realitas masyarakat dewasa ini seperti yang dikemukakan oleh Baudrillard (Hidayat, 2001). Dua ratus tahun sebelum Jean Baudrillard  mengeluarkan diktum tersebut, Marx berujar bahwa betapa semua yang padat segera menguap ke udara. 

                Dictum Marx tadi merupakan refleksi atas keadaan jaman yang hanya mengedepankan uang, dan segalanya dijadikan komoditas. Segalanya dikorbankan demi nilai tukar. Tidak ada lagi nilai moral, religi, sublim, transendensi. Semua tunduk di bawah aura nilai tukar uang. Selang beberapa puluh tahun kemudian, peradaban manusia menapaki jenjang baru, yakni era kemenangan dan supremsi teknologi. Segera, terjadi revolusi kesadaran  maha dasyat, puncaknya adalah tatkala media elektronik televisi ditemukan. 
                Masyarakat sadar sekaligus terbuai dalam alunan peradaban baru tentang dunia yang mengecil. Dimensi ruang dilipat dalam sebuah kotak layar kaca. Selamat datang “dunia yang dilipat”! Televisi kemudian menjadi pusat daya tarik baru yang luar biasa pengaruhnya terhadap segenap pola pikir dan prilaku manusia modern.  Dia menawarkan secara sekaligus akan kesedihan, luka, mimpi indah, kegembiraan dan harapan.

Segera, televisi—Yasraf juga melibatkan disket, komputer, serta New York sebagai metafor dunia yang dilipat—menggeser peran komoditi tradisional Marx. Maka tidak berlebihan kalau kemudian Charles Jencks merepetisi dam mengubah diktum Marx,  All that is solid melts into glass. Dalam dunia yang dilipat ini (televisi) segala hayalan dan bahkan fenomena kemanusiaan dikemas sebagai tonotonan dan hiburan (spectacle and entertaimnet). Di dalam layar kaca televisi, segala sesuatu berita politik, film telenovela, opera sabun, bencana alam, acara keagamaan dikemas dalam kerangka tontonan yang menghibur. Tak ada lagi kekhusukan. Tak ada lagi kekudusan, kerinduan terhadap makna luhur dan kedalaman. Kini, dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang dahsyat, menurut Baudrillard, tidak hanya nilai-nilai sublim dan luhur yang menguap, tapi bahkan realitas itu sendiri. Realitas kini tidak sekedar dapat diceritakan, direpresentasikan dan disebarluaskan. Lebih jauh, realitas kini dapat dibuat, direkayasa dan disimulasi (Hidayat, 2001).

Televisi, disket, komputer atau pun metafor lainnya bukan lagi sebagai cerminan realitas sosial kemasyarakatan sebagaimana fungsinya yang dulu. Tetapi masyarakatlah yang berbalik menjadi cermin atas metafor-metafor tersebut. Perhatikan, tidak ada realitas fisik maupun simbolik di sekitar kita yang bukan hasil identifikasi, imitasi, adopsi, dan adaptasi citra-citra yang ditawarkan dan ditampilkan televisi. Kita, atau bahkan tetangga kita, terutama yang tinggal di daerah urban, merasa lebih kenal dan dekat dengan Bratt Pit, Keanu Reeves, Richard Gere, Jonny Deep, Agnes Monica, Siti Nur Halizah, Tantowi Yahya, atau pun Nafa Urbach daripada tetangga sendiri. Merekalah yang kita gauli sehari-hari, lebih daripada tetangga kita. Karena mereka telah menjadi bagian itegral agenda kapitalis untuk menyihir konsumen (pemirsa) dengan mengedepankan elegansi, prestige, dan mode.


Tragedi ini sekaligus menandakan kejayaan kapitalisme lanjut (late capitalism) yang didukung sepenuhnya oleh progesifitas ilmu dan teknologi, utamanya dalam bentuk kreativitas media dan iklan. Ledakan iklan mengijeksi citra-citra secara indoktrinatif ke dalam diri publik dengan bahasa-bahasa semiotik yang amat persuasif. Kapitalisme mutakhir telah berhasil menyeret hasrat manusia untuk membangun identitas berdasarkan simbol—perbedaan gaya, penampilan, dan produk yang dikonsumsi. Seseorang akan dinilai serta dihormati tergantung dari simbol yang melekat pada dirinya. Semakin konsumtif dan berpunya (the have), maka dia semakin mampu menampilkan citra elegan dan prestige. Diferensiasi ini membawa manusia kontemporer memasuki realitas semu yang dia sendiri tidak tahu kapan akan berakhir. 

Kata kunci yang dihembuskan kapitalisme dalam konteks ini adalah “peremajaan”. Antitesis peremajaan berbau “tua”, “usang”, “out of date” menjadi simptom traumatik, maka lahirlah fitness center, salon kecantikan, body language, serta produk-produk yang mampu menyembunyikan “ketuaan”, yang semua itu hanya mampu didapat merlalui aktivitas konsumsi. Untuk menghindari “ketuaan” tadi masyarakat konsumer berbondong-bondong mengkonsumsi segala jenis produk yang ditawarkan, semua itu hanya demi citra “up to date”.


Padahal jauh hari seorang kritikus Amerika, Marsall Berman, dalam All that is solid melts into air mengingatkan, bahwa kemajuan yang dijanjikan oleh modernitas kapitalisme, pada kenyataannya tidak lebih dari sekadar “kemajuan semu.” Modernitas menawarkan penjelajahan dalam kebaruan, dan transformasi dalam kehidupan: menjanjikan sebuah kehidupan utopis yang adil dan makmur, mencoba menyatukan dunia: namun, pada kenyataannya ia hanya menghasilkan penghancuran diri—tradisi, kepercayaan, kebudayaan etnik: ia hanya menghasilkan kesatuan dalam ketidakbersatuan. Manusia modern pada hakikatnya telah digiring ke dalam sebuah ruang kontradiksi (Berman, 1983: 15 dalam Ibrahim et.al., 2004). Bahkan, Paul Virilio menegaskan bahwa agresifitas dan progresifitas aktivitas konsumsi di atas adalah kegiatan adventurous sekaligus pengalaman estetis yang sia-sia.


Sebagai respon atas fenomena di atas, kemudian Kuntowijoyo mengintrodusir formulasi untuk menghadap massifikasi budaya konsumsi yang nyaris tak subkultur tandingan (counter-sub-culture) tadi. Pertama, meneguhkan kembali citra diri melalui spiritualitas. Nilai-nilai trasendental dalam spiritualitas sampai saat ini masih dipercaya mampu mengikis hasrat duniawi yang berlebih.  Bahkan pada level tertentu, atribut-atribut keagamaan juga efektif dijadikan tameng atas derasnya terpaan budaya massa, dalam hal ini, konsumsi.


Kedua, dengan cara privatisasi. Upaya ini penting untuk membanngun dan membentengi citra diri sehingga tidak mudah terjebak oleh godaan laju citra-citra yang menyesatkan, dan menghindar dari penyakit budaya massa. Privatisasi dapat berupa mengoleksi barang antik tertentu, atau aktivitas yang menjanjikan privacy dan trade mark diri.


Ketiga, elitisasi budaya. Elitisasi budaya merupakan proses transformasi budaya lokal yang sarat akan local genius, local wisdom dan local knowledge ke dalam strata sosial yang lebih tinggi. Dengan demikian, upaya ini diharapkan mampu menghentikan laju massifikasi budaya yang miskin nilai-nilai luhur.



Ala kulli hal, betapa pun  Berman, Virilio dan Kuntowijoyo telah mengingatkan dan mengintrodusir formulasi di atas, nampaknya tidak membuahkan hasil signifikan. Karena sekarang ini, masyarakat tetap akan menjadikan kegilaan berbelanja sebagai rutinitas “mulia.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar