Kamis, 18 Mei 2017

Prelo Memulihkan Persahabatan

M Hilmi Faiq


Telepon selular, yang tergeletak di atas meja tamu,  itu berkedip terang-gelap terang-gelap disertai getaran ringan. Sederet nomor terpampang nyala menandakan seseorang sedang menelepon. Ini mungkin yang ke tujuh atau sembilan kali telepon saya seperti itu. Saya membiarkannya sampai dia kembali tenang.

Saya sedang malas mengangkat telepon dan bahkan sampai pada taraf berdoa semoga tidak ada lagi yang menelepon. Sebab, saya tahu ini adalah hari dan tanggal pelunasan hutang kepada teman baik saya, Mas Choolis, yang uangnya saya pakai untuk membayar uang pendaftaran anak sekolah. Jumlahnya mungkin tak seberapa bagi sebagian orang, hanya Rp 3 juta. Namun bagi saya itu jumlah yang besar, apalagi di tanggal tua begint.

Gara-gara hutang itu juga, saya jadi jarang chat atau menelepon Mas Choolis seperti sebelumnya. Saya malu karena belum bisa membayar hutang. Hutang membuat hubungan kami renggang.

Setelah memandangi telepon selular tadi, mata saya tertuju pada kamera DSLR yang duduk imut di laci persis di samping meja tadi. Itu kamera hadiah lomba foto bulan lalu. Sejak kamera itu datang, dia hanya duduk imut di laci lantaran saya lebih suka memakai kamera lama yang masih prima performanya. “Mengapa tidak saya jual saja kamera hadiah itu?” pikir saya.

Tanpa menunggu lama, saya pelajari detil dan keunggulan kamera itu. Lalu saya cek harga lewat internet di berbagai marketplace. Harganya lumayan. Bila laku sesuai harapan, bisa melunasi sebagian bahkan seluruh hutang saya. Dari berbagai marketplace di internet yang saya temui, rata-rata terlalu ramai. Itu artinya saingan saya terlampau banyak sehingga kecil kemungkinan kamera saya cepat terjual. Saya lalu mencari aplikasi jual-beli lain yang mudah diakses, tetapi tidak terlalu ramai.

Hampir setengah jam berselancar mencari-cari aplikasi yang cocok, saya menemukan Prelo. Penampilannya menarik dan mudah diakses. Warna tampilan hijau muda begitu teduh dan ramah di mata. Download aplikasi ini sangat cepat karena ringan, tak sampai 10 MB. Disertai fitur chat antar penjual dan pembeli sehingga komunikasi lebih lancar. Pembeli bahkan mendapat jaminan selama tiga hari penuh jika barang tak sesuai janji penjual.
            Saya mencoba aplikasi ini dengan memposisikan diri sebagai pembeli. Biasanya butuh lima sampai enam kali klik agar saya bisa menemukan barang yang saya cari. Di Prelo, cukup tiga kali klik, sangat bersahabat. Apalagi terdapar Editor’s Pick, sejenis fitur yang menampilkan barang-barang pilihan. Cara ini bukan saja menghemat waktu, juga menekan penggunaan kuota internet.
            Yang juga saya suka, user interface (UI) Prelo sangat sederhana dan fungsional. Penyusunan layar, tombol, dan ikon tertentu begitu efisien dan bersahabat. Mata tidak perlu menyisir teralu lama untuk mencari tombol Beli atau memperbesar gambar, misalnya.
            Saya semakin jatuh cinta kepada Prelo karena penjualnya pun belum begitu ramai. Saya melihat sebagian besar yang dijual adalah barang bekas, barang preloved, dan hadiah dijual di sana. Semuanya masih begitu bagus seperti melalaui sistem kurasi yang mantap.

Saya lalu pelajari teknis dan persyaratan membuka dagangan di sana dan yakin aman.  Yang paling utama dalam jual-beli online tentu saja sistem pembayaran. Prelo menggunakan metode pembayaran modern dengan berbagai opsi baik via transfer bank, kartu kredit, maupun gerai Indomaret. Pembeli bisa juga menggunakan voucher atau Prelo Balance, sejenis deposit. Aman dan muda.

            Setelah menyiapkan narasi bernada persuasif, saya memposting foto-foto kamera saya tadi. Meskipun terbilang baru, saya memasukannya sebagai kamera bekas atau kamera second karena kardusnya sudah saya buka untuk memeriksa detil barang. Langkah pertama selesai sudah. Saya kini tinggal berdoa semoga segera ada pembeli yang tertarik kamera second milik saya.

            Sinar matahari sore menerobos tirai jendela. Hangatnya menyapa punggung saya ketika telepon selular yang terbaring di kasur tempat saya merebahkan diri itu bergetar. Ada pesan masuk lewat fasilitas chat Prelo yang isinya menanyakan harga kamera bekas milik saya. Setelah membaca dan membalas tiga kali chat, kami deal haag.

            Sekitar 15 menit kemudian, pembeli tadi mengabarkan telah mengirim sejumlah uang ke Prelo. Saya bergegas mengemas kamera, membungkusnya serapi mungkin, lalu mengirimnya dari Jakarta ke Bandung.

Dua hari kemudian, pembeli mengkonfirmasi bahwa kamera second itu sudah sampai dan befungsi bagus seperti yang saya gambarkan di Prelo. Tak lama setelah itu, saya mengambil uang lewat fitur Tarik Uang di Prelo.
Kali ini saya bergegas menelepon Mas Choolis. “Mas, jam berapa ada di rumah? Saya mau bayar hutang.”
 “Waah pas banget. Sayasedang butuh hehehe. Habis Magbrib saya di rumah. Datang saja sekalian makam malam.”

Saya senyum-senyum sendiri. Prelo bukan saja membantu saya menemukan cara baru berjualan barang bekas. Prelo turut mengembalikan harga diri saya sebagai seorang teman.

Sabtu, 13 Mei 2017

The Madness of Consumer Society

M Hilmi Faiq


KETIKA Gempa dan Tsunami menyapu seisi Aceh, masyarakat dunia seakan hanyut dalam kedukaan yang begitu dalam. Serentak, rasa kemanusiaan melaju mencapai puncaknya. Rasa kemanusiaan dan solidaritas dunia terhadap tragedi Tsunami sungguh luar biasa, bahkan mencapai level post-absurditas.

Namun bergantinya waktu seiring surutnya Tsunami, kepedulian tadi pun surut menuju titik normal seperti tatkala Tsunami belum menyapa. Media massa yang awalnya memberi porsi besar terhadap tragedi ini, kini mengurangi porsi pemberitaannya. Sementara masyarakat luas kembali beraktivitas seolah Korban Tsunami bukan lagi urusan mereka: sudah ada yang menangani. Mekera kembali ke titik absurditas, seperti hari-hari sebelumnya.

Absurditas (absurdity) menjelma menjadi sebuah kenyataan historis dalam kehidupan masyarakat dunia ketika kepalsuan, kepura-puraan, dan simulasi menjadi pilihan strategi di dalam berbagai panggung politik, sosial, dan kebudayaan dalam skala global. Di dalamnya, absurditas menjadi sebuah ideologi, strategi, bahkan jalan hidup-the absurdity of politics (Yasraf Amir Piliang, "Post-Absurdity", Kompas, 13/1/ 2005).

Di era post-modern ini, tonggak absurditas yang paling mencolok adalah aktivitas belanja (to consume). Lihatlah, masyarakat luas tergopoh-gopoh membeli segala hal yang sebenarnya tidak begitu mereka butuhkan fungsinya, hanya demi meningkatkan gengsi dan prestige. Perhatikan, di setiap sudut kota, aroma konsumerisme terasa begitu kuat. Mall, department store, swalayan, serta tempat sejenis lainnya penuh sesak dengan nafas-nafas manusia yang menggapai lembaran-lembaran prestige

            Di jaman ini, sulit mencari sosok yang tak doyan belanja (to consume). Terutama mereka yang berada pada puncak piramida secara ekonomi. Belanja, menjadi aktivitas vital bagi manusia sekarang, guna mencari dan mempertahankan prestige di tengah masyarakat. Tanpannya, eksistensi seseorang menjadi tereduksi. Separahkan itukah?

            Aktivitas belanja, bukan lagi menekankan pada titik fungsi sebagaimana pada awalnya, tetapi lebih merupakan simbol seseorang untuk diakui keberadaannya. Setali tiga uang dengan itu, masyarakat memang telah terseret dan terhipnotis untuk menilai manusia lain hanya dari simbol-simbol yang melekat pada dirinya. Inilah yang dikatakan Jean Baudrillard sebagai kelahiran dunia simulasi (simulacrum).

            All that is solid melts into air (Karl Marx) All that is solid melts into glass (Charles Jencks) All that is real becomes simulation (Jean Baudrillard) Semua yang nyata kini menjadi simulasi. Ungkapan bernada hiperbolik tersebut barangkali merupakan satu-satunya cara untuk menggambarkan realitas masyarakat dewasa ini seperti yang dikemukakan oleh Baudrillard (Hidayat, 2001). Dua ratus tahun sebelum Jean Baudrillard  mengeluarkan diktum tersebut, Marx berujar bahwa betapa semua yang padat segera menguap ke udara. 

                Dictum Marx tadi merupakan refleksi atas keadaan jaman yang hanya mengedepankan uang, dan segalanya dijadikan komoditas. Segalanya dikorbankan demi nilai tukar. Tidak ada lagi nilai moral, religi, sublim, transendensi. Semua tunduk di bawah aura nilai tukar uang. Selang beberapa puluh tahun kemudian, peradaban manusia menapaki jenjang baru, yakni era kemenangan dan supremsi teknologi. Segera, terjadi revolusi kesadaran  maha dasyat, puncaknya adalah tatkala media elektronik televisi ditemukan. 
                Masyarakat sadar sekaligus terbuai dalam alunan peradaban baru tentang dunia yang mengecil. Dimensi ruang dilipat dalam sebuah kotak layar kaca. Selamat datang “dunia yang dilipat”! Televisi kemudian menjadi pusat daya tarik baru yang luar biasa pengaruhnya terhadap segenap pola pikir dan prilaku manusia modern.  Dia menawarkan secara sekaligus akan kesedihan, luka, mimpi indah, kegembiraan dan harapan.

Segera, televisi—Yasraf juga melibatkan disket, komputer, serta New York sebagai metafor dunia yang dilipat—menggeser peran komoditi tradisional Marx. Maka tidak berlebihan kalau kemudian Charles Jencks merepetisi dam mengubah diktum Marx,  All that is solid melts into glass. Dalam dunia yang dilipat ini (televisi) segala hayalan dan bahkan fenomena kemanusiaan dikemas sebagai tonotonan dan hiburan (spectacle and entertaimnet). Di dalam layar kaca televisi, segala sesuatu berita politik, film telenovela, opera sabun, bencana alam, acara keagamaan dikemas dalam kerangka tontonan yang menghibur. Tak ada lagi kekhusukan. Tak ada lagi kekudusan, kerinduan terhadap makna luhur dan kedalaman. Kini, dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang dahsyat, menurut Baudrillard, tidak hanya nilai-nilai sublim dan luhur yang menguap, tapi bahkan realitas itu sendiri. Realitas kini tidak sekedar dapat diceritakan, direpresentasikan dan disebarluaskan. Lebih jauh, realitas kini dapat dibuat, direkayasa dan disimulasi (Hidayat, 2001).

Televisi, disket, komputer atau pun metafor lainnya bukan lagi sebagai cerminan realitas sosial kemasyarakatan sebagaimana fungsinya yang dulu. Tetapi masyarakatlah yang berbalik menjadi cermin atas metafor-metafor tersebut. Perhatikan, tidak ada realitas fisik maupun simbolik di sekitar kita yang bukan hasil identifikasi, imitasi, adopsi, dan adaptasi citra-citra yang ditawarkan dan ditampilkan televisi. Kita, atau bahkan tetangga kita, terutama yang tinggal di daerah urban, merasa lebih kenal dan dekat dengan Bratt Pit, Keanu Reeves, Richard Gere, Jonny Deep, Agnes Monica, Siti Nur Halizah, Tantowi Yahya, atau pun Nafa Urbach daripada tetangga sendiri. Merekalah yang kita gauli sehari-hari, lebih daripada tetangga kita. Karena mereka telah menjadi bagian itegral agenda kapitalis untuk menyihir konsumen (pemirsa) dengan mengedepankan elegansi, prestige, dan mode.


Tragedi ini sekaligus menandakan kejayaan kapitalisme lanjut (late capitalism) yang didukung sepenuhnya oleh progesifitas ilmu dan teknologi, utamanya dalam bentuk kreativitas media dan iklan. Ledakan iklan mengijeksi citra-citra secara indoktrinatif ke dalam diri publik dengan bahasa-bahasa semiotik yang amat persuasif. Kapitalisme mutakhir telah berhasil menyeret hasrat manusia untuk membangun identitas berdasarkan simbol—perbedaan gaya, penampilan, dan produk yang dikonsumsi. Seseorang akan dinilai serta dihormati tergantung dari simbol yang melekat pada dirinya. Semakin konsumtif dan berpunya (the have), maka dia semakin mampu menampilkan citra elegan dan prestige. Diferensiasi ini membawa manusia kontemporer memasuki realitas semu yang dia sendiri tidak tahu kapan akan berakhir. 

Kata kunci yang dihembuskan kapitalisme dalam konteks ini adalah “peremajaan”. Antitesis peremajaan berbau “tua”, “usang”, “out of date” menjadi simptom traumatik, maka lahirlah fitness center, salon kecantikan, body language, serta produk-produk yang mampu menyembunyikan “ketuaan”, yang semua itu hanya mampu didapat merlalui aktivitas konsumsi. Untuk menghindari “ketuaan” tadi masyarakat konsumer berbondong-bondong mengkonsumsi segala jenis produk yang ditawarkan, semua itu hanya demi citra “up to date”.


Padahal jauh hari seorang kritikus Amerika, Marsall Berman, dalam All that is solid melts into air mengingatkan, bahwa kemajuan yang dijanjikan oleh modernitas kapitalisme, pada kenyataannya tidak lebih dari sekadar “kemajuan semu.” Modernitas menawarkan penjelajahan dalam kebaruan, dan transformasi dalam kehidupan: menjanjikan sebuah kehidupan utopis yang adil dan makmur, mencoba menyatukan dunia: namun, pada kenyataannya ia hanya menghasilkan penghancuran diri—tradisi, kepercayaan, kebudayaan etnik: ia hanya menghasilkan kesatuan dalam ketidakbersatuan. Manusia modern pada hakikatnya telah digiring ke dalam sebuah ruang kontradiksi (Berman, 1983: 15 dalam Ibrahim et.al., 2004). Bahkan, Paul Virilio menegaskan bahwa agresifitas dan progresifitas aktivitas konsumsi di atas adalah kegiatan adventurous sekaligus pengalaman estetis yang sia-sia.


Sebagai respon atas fenomena di atas, kemudian Kuntowijoyo mengintrodusir formulasi untuk menghadap massifikasi budaya konsumsi yang nyaris tak subkultur tandingan (counter-sub-culture) tadi. Pertama, meneguhkan kembali citra diri melalui spiritualitas. Nilai-nilai trasendental dalam spiritualitas sampai saat ini masih dipercaya mampu mengikis hasrat duniawi yang berlebih.  Bahkan pada level tertentu, atribut-atribut keagamaan juga efektif dijadikan tameng atas derasnya terpaan budaya massa, dalam hal ini, konsumsi.


Kedua, dengan cara privatisasi. Upaya ini penting untuk membanngun dan membentengi citra diri sehingga tidak mudah terjebak oleh godaan laju citra-citra yang menyesatkan, dan menghindar dari penyakit budaya massa. Privatisasi dapat berupa mengoleksi barang antik tertentu, atau aktivitas yang menjanjikan privacy dan trade mark diri.


Ketiga, elitisasi budaya. Elitisasi budaya merupakan proses transformasi budaya lokal yang sarat akan local genius, local wisdom dan local knowledge ke dalam strata sosial yang lebih tinggi. Dengan demikian, upaya ini diharapkan mampu menghentikan laju massifikasi budaya yang miskin nilai-nilai luhur.



Ala kulli hal, betapa pun  Berman, Virilio dan Kuntowijoyo telah mengingatkan dan mengintrodusir formulasi di atas, nampaknya tidak membuahkan hasil signifikan. Karena sekarang ini, masyarakat tetap akan menjadikan kegilaan berbelanja sebagai rutinitas “mulia.”

Jumat, 12 Mei 2017

Generasi Kurang Guyon




Sedih sekali mendengar kabar warga Paciran ditangkap sebagai terduga teroris. Info sementara mereka mau menyerang Kepolisian Sektor Brondong. Sebelumnya juga terlibat bom di beberapa tempat termasuk di Sarinah Thamrin Jakarta awal tahun lalu.

Tahun 2002 kita sebagai warga Lamongan sebenarnya terguncang dengan aksi the smiling bomber Amrozi dan rekan-rekannya. Tahun 2013 muncul lagi pengeboman di markas Kepolisian Resor Poso yang dilakukan ZA, warga Kecamatan Brondong.

Sebenarnya ada apa dengan mereka?

Saya menduga mereka adalah generasi kurang guyon. Mereka terlalu tegang menghadapi permasalahan hidup. Jika mereka sering mendengar ludruk ala-ala Cak Kartolo, Basman, dan kawan-kawan, mereka tentu bisa lebih santai hidupnya. Masih bisa tertawa dalam segala himpitan masalah hidup dan keluarga.

"Akeh utang ga popo, seng penting sombong," ini salah satu gaya Cak Kartolo menertawakan hidup. Mengurai ketegangan menjadi tawa. Satire sekaligus penuh sarkasme.

Gaya-gaya guyonan Cak Kartolo itu sebenarnya sangat menjamur di wilayah pesisir, tempat para terduga teroris itu lahir dan tumbuh. Di warung-warung kopi, di brok-brok tempat nelayan ngayum jaring, canda-tawa adalah obat Lara. Mereka saling ledek tentang masalah hidup masing-masing. Mereka melihat tragedi hidup sebagai komedi hidup.

"Piye kabare, Nda. Kok lemes ngono?"
"Wah, bojoku katoke rangkep telu. Gara-gara plaet. Ra ono iwak blas."

Kira-kira begitu cara mereka mengungkapkan beban hidup. Sangat komedik sehingga hidup tak tegang.

Para terduga terori itu juga terhimpit masalah yang tak kalah berat. Ada yang mencoba meraih bahagia hingga nikah tiga kali tapi tak juga kunjung bahagia. Ada yang mencoba mengubah nasib setelah lelah menjadi tenaga angkut barang di TPI Brondong, lalu jadi kuli, jual obat herbal, menjadi ahli bekam terakhir terbujuk ikut "jihad".

Kalau dunia tidak bisa diraih, setidaknya di akhirat masuk surga. Begitu kira-kira keyakinannya. Jika saya dia sering ikut guyon di warung kopi atau sering-sering buka YouTube lihat Cak Kartolo melucu, hidupnya tidak akan setegang itu.

Sinau tauhid itu bagus. Bagus banget malah. Tapi coba diimbangi dengan fiqih muamalah seperti thaharah atau adabul mar'ah. Biar lebih santai melihat hidup. Kalian yang jomblo, sinau adabul mar'ah bisa jadi bahan pedekate lho. Bisa dadi modal nglamar calon bojo. Jadi jangan terlalu tegang hidup itu.

Masih ingat Ali Imron, kakaknya Amrozi? Sekarang dia sudah tidak tegang lagi menghadapi hidup meskipun dihukum seumur hidup. Dia santai dan suka guyon. Contohnya saat menghadapi para wahasiswa yang wawancara dia untuk dapat gelar Sarjana Hukum. "Gara-gara bom Bali, kalian dapat Gelar SH, Sarjana Hukum. Saya juga dapat SH: seumur hidup."

Begitulah menghadapi hidup. Perbanyak guyon biar santai. Jangan terlalu serius menghadapi persoalan hidup.


Gara-gara terlalu serius melihat beban hidup ini, Lamongan, khususnya Paciran dan Brondong, menjadi basis perekrutan jaringan teroris internasional. Laporan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) menguatkan itu. Dalam
"INDONESIA’S LAMONGAN NETWORK: HOW EAST JAVA, POSO AND SYRIA ARE LINKED" edisi
15 April 2015 IPAC Report No. 18, jelas disebutkan semua.

"Mamulo pok ngopi, Cah. Pok guyon. Ojo serius-serius ndak cepet mati." Begitu kelakar generasi yang cukup guyon terhadap generasi yang kurang guyon.

M Hilmi Faiq

Rabu, 10 Mei 2017

Agama

Saya menemukan tulisan lama saya, tahun 2003. Tetapi kayaknya masih relevan untuk dibaca ulang...

AGAMA

Sebagai realitas sosial, kita kesulitan dalam menjelaskan mengapa agama yang menjanjikan kasih sayang, kedamaian, kerukunan, serta persaudaraan tiba-tiba muncul dalam wajah yang menyeramnkan: perang atas nama agama (the holy war), membinasakan sesama atas nama agama, atau pun teror dengan menggunakan simbol agama? Padahal agama acap kali dikampanyekan sebagai jalan bagi umat manusia untuk mencapai keselamatan menuju Realitas Agung (the Ultimate Reality). Tragedi kemanusiaan seperti peristiwa 11 September, Bom Bali, peperangan Israel-Palestina yang nyaris abadi itu, seolah menegasikan bahwa agama adalah jalan kedamaian.

     Berangkat dari realitas paradoksal di atas, kemudian Charles Kimball, Ketua Departemen Agama di Universitas Wake Forest, mencoba mengurai simpul-simpul kekerasan atas nama agama dalam buku When Religion Becames Evil (2003). Menurutnya, agama akan berubah menjadi bencana manakala terdapat lima pra kondisi. Pertama, bila suatu agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran yang mutlak dan satu-satunya. Klaim kebenaran (truth claim) seperti ini, menegasikan kebenaran yang mungkin terdapat dalam agama lain (out sider). Dalam pemahaman ini, out sider  adalah  kelompok sesat dan musuh Tuhan, kerenanya, harus dimusnahkan.

       Kedua, agama menjadi bahaya manakala para pengikutnya menganut prinsip ketaatan buta. Otentitas agama tidak pernah menentang intelek serta rasio manusia. Maka, Kimball mengingatkan, agar kita berhati-hati dengan ajaran-ajaran agama yang bertentangan dengan akal sehat, membatasi kebebasan intelek, membabat itegritas pengikutnya dengan menuntut ketaatan kepada tokoh kharismatik mereka. Karena bila ketaatan buta ini lahir, maka aktivitas mereka menjadi buta pula.

      Ketiga, waham idealisme para pengikut agama. Jika waham ini telah bersemayam, lahirlah upaya-upaya untuk mengusung atmosfer masa lalu yang dianggap ideal, ke masa kini. Padahal, kebutuhan zaman ideal masa lalu itu sama sekali berbeda dengan masa kini. Dalam Islam misalnya, lahirnya kelompok tertentu yang “ngotot” untuk diperlakukannya syariat Islam sebagaimana yang diberlakukan pada jaman Nabi, adalah salah satu representasi dari waham ini.

       Keempat, ketika agama tersebut merelakan dan membenarkan terjadinya “tujuan yang menghalalkan segala cara”. Dengan menyalahgunakan variabel-variebal agama, seringkali cara-cara yang digunakan bertentangan dengan tujuan itu sendiri. Misalnya, untuk mencapai kedamaian, malah ditempuh dengan peperangan.

       Kelima, ketika agama memekikkan perang suci. Kiranya tidah sulit menemukan contoh dari motivasi keberagamaan seperti ini. Tragedi 11 September masih saja menjadi bukti betapa agama tidak lagi ramah. Bahkan, bagi banyak orang di Barat, Osama bin Laden—pemimpin penyerangan tersebut—telah menjadi ikon kejahatan atas nama agama di dunia saat ini.

        Jika demikian, lantas apa yang harus diperbuat untuk mengembalikan wajah asli agama yang penuh kasih sayang, kedamaian, cinta kasih, kerukunan serta persaudaran di atas? Dalam hal ini, sebagai guru besar Studi Agama Kimball menawarkan dialog antariman sebagai salah satu solusi alternatif. Dialog ini mengandaikan hijrah dari teologi klasik-tradisional yang sempit, menuju teologi inklusif yang mempercayai rencana keselamatan umat manusia secara menyeluruh.
       
        Agama harus mengambil disposisi bahwa mungkin saja agama di luar agama kita mampu menjelaskan rencana Tuhan itu. Dus, pandangan iklusivis mengakui kehadiran dan aktivitas penyelamatan yang dilakukan Tuhan pada semua tradisi agama.

         Namun, lanjut Kimball, Langkah ini harus diawali dengan melupakan “berbagai perselisihan dan pertikaian” pada abad-abad sebelumnya untuk mendapatkan saling pengertian dan bersama-sama “menegakkan dan memajukan perdamaian, kebebasan, keadilan sosial, dan nilai-nilai moral”. Jika ini terbangun, maka nuansa keberagamaan dengan perspektif kemanusiaan akan mudah tercapai. Inilah harapan kita!