M Hilmi Faiq
MASYARAKAT muslim kembali bersua dengan moment Idul Fitri
yang secara serentak dirayakan pada 25 Juni 2017. Momen tahunan ini merupakan ritus yang menandakan bahwa bulan puasa
telah berakhir sekaligus puncak perayaan kemenangan umat Islam setelah berjuang
selama satu bulan puasa dalam mengendalikan hafsu, memerangi kesombonmgan diri,
refleksi diri, membendung arus syahwati, serta membangung irama ritual dalam
beragama agar lebih ritmis. Singkatnya, Ramadhan merupakan even sakral dimana
setiap umat Islam dituntut untu mreningkatkan kualitas keberagamaannya.
Tentu saja
kereragaaan ini tidak hanya berpusar pada aras ritual personal seperti shalat,
membaca al-qur’an, serta puasa itu sendiri. Namun puasa juga syarat dengan
nuansa kesholehan sosial yang sedikit banyak tercermin dalam kewajiban
mengeluarkan zakat fitrah di akhir Ramadhan. Begitu juga, kalu kita tilik lebih
dalam, pada hakikatnya salah satu nilai implisit dalam ritus puasa dalah agar
umat Islam menyadari bahwa kondisi haus dan lapar adalah perasaan yang
menyakitkan. Sehingga mereka menginsafi bagaimana kehidupan kaum fakir miskin
dalam memperjuangkan hidup dan menanggung lapar. Bagi yang mampu, keadaan lapar
dalam bulan puasa akan segera berakhir setelah adzan magrib dikumandangkan.
Tetapi bagi kaum fakir miskin yang tertindas secara ekonomi, rasa hahaga dan lapar
senantiasa dideritanya, dan mereka tidak tahu kapan bisa berbuka. Demikianlah,
dahaga dan lapar telah bersetubuh dengan mereka, kaum fakir miskin.
Semangat duniawi yang direpresentasikan dengan
cinta kebendaan telah menghitamkan sisi kemanusiaan. Dalam atmosfer modern, di
mana kapitalisme menjadi idiologi dominan, semangat duniawi ini semakin
menemukan tempat. Kapitalisme telah
menjelma sebagi mekanisme baru untuk melakukan dominasi. Kondisi ini
mengakibatkan redistribusi kesejahteraan akan hanya berputar pada kelas
tertentu yang menguasai moda-moda industri dan produksi. Ironisnya, hal itu
didukung oleh kebijakan negara yang jarang sekali berpihak pada masyarakat
miskin dan tertindas. Justeru,
yang dilakukan adalah perselingkuhan politik dan ekonomi guna memperkaya
konglomerat dan elite kekuasaan. Kebijakan itu memang sangat berkesesuaian
dengan ciri neo-liberalisme yang menampakkan wajah pada era globalisasi ini
(Fakih, 2001). Pada sisi inilah Idul Fitri mengetuk naluri kemanusiaan.
Namun, globalisasi
yang semakin memanjakan umat manusia secara sepihak, juga menyisakan derita
yang tak kunjung berakhir bagi pihak lain. Paradok kemakmuran kian kentara,
kesenjangan ekonomi kian menganga. Di satu sisi, kemakmuran dan kesejahteraan
terlihat semakin jelas. Di sisi lain, di pelosok-pelosok desa, di bawah
jembatan kota, di tepi-tepi sungai, dan di semua wilayah pheriperal itu,
kita menyaksikan saudara kita yang tidak sempat menyenyam pendidikan,
kesusahan memenuhi kebutuhan pangan, jauh dari akses kemakmuran, serta
senantiasa tertindas oleh sistem ekonomi yang tidak humanis.
Kondisi ini semakin
memprihatinkan ketika kita menyaksikan betapa mereka yang kaya, sejahtera dan
mengaku beragama, seolah tidak peduli dan tidak menunjukkan simpati yang berarti
(deep sympaty) terhadap golongan di atas. Yang lebih banyak mereka
tonjolkan adalah aksi dan bualan-bualan kosong dengan tujuan politis agar
nampak dermawan dan peduli dengan sesama. Golongan ini tidak hanya berasal dari
mereka yang minim pengetahuan agamanya, tetapi juga para santri yang akhirnya
jaya secara ekomoni. Bagi sebagian besar golongan ini, kemiskinan dan
kemelaratan adalah garis tangan yang harus diterima, dan kalaupun harus diubah
harus dengan upaya pribadi bukan mengharap santunan orang lain.
Padahal, kemiskinan
adalah musuh setiap bangsa, musuh kemanusian, dan karenanya kemiskinan adalah
musuh setiap agama. Sebab pada dasarnya setiap agama senantiasa menjanjikan
kebaikan hidup dengan menonjolkan sisi humanitas.
Secara struktural,
kemiskinan lebih disebabkan oleh ketidakadilan sosial, politik, ekonomi dan
budaya. Di balik kemiskinan tersimpam sistem-sistem hegemonik yang secara sadar
mengabadikan kemiskinan itu sendiri. Ironisnya, kenyataan ini tidak disadari
oleh kaum miskin itu sendiri. Inilah fenomena culture of silence, di
mana orang tertindas tidak menyadari ketertindasannya.
Orang miskin tidak menyadari kemiskinannya, bahkan cenderung menikmatinya. Kenyataan semacam inilah yang oleh Herbet Marcuse dalam Eros end Civilization disebut sebagai desublimasi represif.
Kapitalisme global
memang bisa disebut sebagai faktor utama penyebab kemiskinan. Namun di balik
itu, terdapat pandangan dunia (worldview) dan pola pikir (mind set)
masyarakat yang keliru, yang dipengaruhi oleh sistem etika agama dan budaya.
Fasisme adalah wajah yang paling representatif menggambarkan kaum miskin.
Mereka menilai bahwa kemiskinan merupakan kehendak Tuhan, dan oleh karena itu
harus diterima dengan lapang dada. Ajaran agama yang mereka terima, bukan
sebagai ajaran iluminatif yang seharusnya mencerahkan. Malah, seringkali
menjustifikasi kemiskinan mereka.
Maka, untuk
menyadarkan mereka diperlukan piranti yang disebut teologi pembebasan. Menurut Schoof (1970) teologi adalah refleksi sistematis
dan metodis tentang realitas iman, yaitu "integrasi ilmiah dari sabda
Tuhan sebagaimana itu ditujukan kepada kita". Sementara,
"pembebasan" adalah refleksi kritis tentang Tuhan baik dalam iman,
tindakan dan realitas kesejarahan.
Secara historis,
teologi pembebasan muncul dalam tradisi Kristen sebagai gugatan moral dan
sosial terhadap ketergantungan pada kapitalisme, sebagai alternatif terhadap
cara hidup individualistik, penentangan terhadap pemberhalaan harta dan
kekuasaan, kecaman terhadap teologi tradisional, serta pembacaan baru pada
sumber-sumber otoritas keagamaan (Lowy, 2000). Hampir semua negara Amerika
Latin selama 20 tahun ini didominasi Teologi Pembebasan. Paham ini adalah satu
upaya kontekstualisasi dari ajaran dan nilai keagamaan dalam konteks sosial
tertentu. Konteks sosial yang terjadi adalah penindasan, pemiskinan,
keterbelakangan, dan penafian harkat manusia (Rahman, 2000).
Namun, bila kita
membaca skript-skript dan sejarah agama-agama, maka di sana kita mendapatkan
sebuah variabel bahwa semua agama turun untuk melawan kemiskinan,
keterbelakangan, ketertindasan, dan kebodohan. Para sosok nabi adalah pembela
kaum yang lemah dan tertindas (mustad'afin). Mereka menyerukan keadilan
memberhangus ketimpangan, mengembangkan layar persaudaran universal
mempersempit rung gerak individualisme. Dus, Islam menyimpan amunisi yang bisa
dijadikan teologi bagi kaum tertindas.
Teologi kaum
tertindas menekankan perubahan struktur menuju masyarakat bebas dari segenap
bentuk penindasan, atau penciptaan suatu masyarakat tauhidi, di mana keadilan
dan pemeratan menjadi conditio sine qua non. Masyarakat tauhidi terwujud
bila tidak ada lagi golongan yang
menumpuk-numpuk harta benda, yang zalim dan aniaya.
Salah satu cita-cita sosial agama Islam adalah terjaminnya kehidupan ekonomi umatnya.
Dalam QS; 4
ayat 9 Allah berfirman, "Janganlah kalian meninggalkan anak-anak keturunan
kalian dalam keadaan miskin dan terbelakang". Fakir-miskin, anak yatim dan
golongan marginal lainnya, berkali-kali disebut Allah dalam firman-Nya agar
umat manusia selalu memanusiakan mereka. Bahkan secara khusus, Allah memvonis
sebagai pendusta agama bagi siapa saja yang melelantarkan mereka. Juga, tidak
sedikit hadits yang menyerukan betapa kaum mustad'afun ini perlu dibela
kemanusiaanya. Pada kesempatan lain Allah juga mengingatkan bahwa Dia tidak
akan merubah nasib suatu kaum kalau kaum tersebut tidak mau merubah nasib yang
membelenggunya.
Dus, secara generik,
Islam sebenarnya menyimpan daya pembebas yang luar biasa. Dalam konteks mustad'afin.
Teologi pembebasan Islam tidak harus dilaksanakan secara brutal dan frontal
sebagaimana sejarah Afrika dan Amerika Latin, tetapi dengan jalur yang lebih
kontekstual dan menyentuh sasaran. Dalam konteks Idul Fitri, semangat
pembebasan ini bisa diwujudkan dalam bentuk, misalnya, pengumpulan dana zakat untuk melakukan kampaye penyadaran kaum tertindas. Atau dalam bentuk lain
seperti beasiswa, latihan keterampilan, advokasi kaum marginal, subsidi
kesehatan, peduli pengungsi dan rehabilitasi sarana di wilayah konflik. Inti
dari bentuk program tersebut adalah iluminasi yang melibatkan pencerahan
moral-spiritual. Sehingga mereka sadar bahwa mereka tertindas, bahwa ada sistem
yang mendehumanisasi, bahwa ada upaya-upaya hegemoni, dan kerenanya harus ada counter
hegemony.
Meski bisa jadi tindakan
ini dianggap sebagai intervensi terhadap kemandirian rakyat, tapi langkah ini
mutlak dilakukan untuk memberikan pencerahan dan pembukaan mata hati terhadap
realitas yang sesungguhnya terjadi. Model pendidikan ala Paulo Freire yang
menekankan adanya dialektika dan circle antara teks, aksi, dan refleksi
secara terus menerus, adalah sebuah tawaran yang mutlak untuk dipertimbangan
(Leonard,1994).
Hari Raya Idul Fitri ini, yang dikampayekan
sebagai hari kemenangan dan pembebasan, kiranya
merupakan momen yang tepat untuk memanifestasikan teologi kaum tertindas. Bukan
sekedar menyantuni kaum mustad'afin secara materiil karena hanya akan
memanjakan mereka. Tetapi menyadarkan akan realitas kedirian mereka untuk
keluar dari ketertindasan menuju kebebasan. Juga menyadarkan kaum mapan akan
hak-hak kaum mustad'afin. Inilah Elan Pembebas yang terdapat dalam relung
Idul Fitri.