Selasa, 20 Juni 2017

Menemukan Elan Pembebas di Relung Idul Fitri

M Hilmi Faiq




MASYARAKAT muslim kembali bersua dengan moment Idul Fitri yang secara serentak dirayakan pada 25 Juni 2017. Momen tahunan ini merupakan ritus yang menandakan bahwa bulan puasa telah berakhir sekaligus puncak perayaan kemenangan umat Islam setelah berjuang selama satu bulan puasa dalam mengendalikan hafsu, memerangi kesombonmgan diri, refleksi diri, membendung arus syahwati, serta membangung irama ritual dalam beragama agar lebih ritmis. Singkatnya, Ramadhan merupakan even sakral dimana setiap umat Islam dituntut untu mreningkatkan kualitas keberagamaannya.
Tentu saja kereragaaan ini tidak hanya berpusar pada aras ritual personal seperti shalat, membaca al-qur’an, serta puasa itu sendiri. Namun puasa juga syarat dengan nuansa kesholehan sosial yang sedikit banyak tercermin dalam kewajiban mengeluarkan zakat fitrah di akhir Ramadhan. Begitu juga, kalu kita tilik lebih dalam, pada hakikatnya salah satu nilai implisit dalam ritus puasa dalah agar umat Islam menyadari bahwa kondisi haus dan lapar adalah perasaan yang menyakitkan. Sehingga mereka menginsafi bagaimana kehidupan kaum fakir miskin dalam memperjuangkan hidup dan menanggung lapar. Bagi yang mampu, keadaan lapar dalam bulan puasa akan segera berakhir setelah adzan magrib dikumandangkan. Tetapi bagi kaum fakir miskin yang tertindas secara ekonomi, rasa hahaga dan lapar senantiasa dideritanya, dan mereka tidak tahu kapan bisa berbuka. Demikianlah, dahaga dan lapar telah bersetubuh dengan mereka, kaum fakir miskin.
Semangat duniawi yang direpresentasikan dengan cinta kebendaan telah menghitamkan sisi kemanusiaan. Dalam atmosfer modern, di mana kapitalisme menjadi idiologi dominan, semangat duniawi ini semakin menemukan tempat. Kapitalisme telah  menjelma sebagi mekanisme baru untuk melakukan dominasi. Kondisi ini mengakibatkan redistribusi kesejahteraan akan hanya berputar pada kelas tertentu yang menguasai moda-moda industri dan produksi. Ironisnya, hal itu didukung oleh kebijakan negara yang jarang sekali berpihak pada masyarakat miskin dan tertindas. Justeru, yang dilakukan adalah perselingkuhan politik dan ekonomi guna memperkaya konglomerat dan elite kekuasaan. Kebijakan itu memang sangat berkesesuaian dengan ciri neo-liberalisme yang menampakkan wajah pada era globalisasi ini (Fakih, 2001). Pada sisi inilah Idul Fitri mengetuk naluri kemanusiaan.
Namun, globalisasi yang semakin memanjakan umat manusia secara sepihak, juga menyisakan derita yang tak kunjung berakhir bagi pihak lain. Paradok kemakmuran kian kentara, kesenjangan ekonomi kian menganga. Di satu sisi, kemakmuran dan kesejahteraan terlihat semakin jelas. Di sisi lain, di pelosok-pelosok desa, di bawah jembatan kota, di tepi-tepi sungai, dan di semua wilayah pheriperal itu, kita menyaksikan saudara kita yang tidak sempat menyenyam pendidikan, kesusahan memenuhi kebutuhan pangan, jauh dari akses kemakmuran, serta senantiasa tertindas oleh sistem ekonomi yang tidak humanis.
Kondisi ini semakin memprihatinkan ketika kita menyaksikan betapa mereka yang kaya, sejahtera dan mengaku beragama, seolah tidak peduli dan tidak menunjukkan simpati yang berarti (deep sympaty) terhadap golongan di atas. Yang lebih banyak mereka tonjolkan adalah aksi dan bualan-bualan kosong dengan tujuan politis agar nampak dermawan dan peduli dengan sesama. Golongan ini tidak hanya berasal dari mereka yang minim pengetahuan agamanya, tetapi juga para santri yang akhirnya jaya secara ekomoni. Bagi sebagian besar golongan ini, kemiskinan dan kemelaratan adalah garis tangan yang harus diterima, dan kalaupun harus diubah harus dengan upaya pribadi bukan mengharap santunan orang lain.
Padahal, kemiskinan adalah musuh setiap bangsa, musuh kemanusian, dan karenanya kemiskinan adalah musuh setiap agama. Sebab pada dasarnya setiap agama senantiasa menjanjikan kebaikan hidup dengan menonjolkan sisi humanitas.
Secara struktural, kemiskinan lebih disebabkan oleh ketidakadilan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Di balik kemiskinan tersimpam sistem-sistem hegemonik yang secara sadar mengabadikan kemiskinan itu sendiri. Ironisnya, kenyataan ini tidak disadari oleh kaum miskin itu sendiri. Inilah fenomena culture of silence, di mana orang tertindas tidak menyadari ketertindasannya. 
Orang miskin tidak menyadari kemiskinannya, bahkan cenderung menikmatinya. Kenyataan semacam inilah yang oleh Herbet Marcuse dalam Eros end Civilization disebut sebagai desublimasi represif.
Kapitalisme global memang bisa disebut sebagai faktor utama penyebab kemiskinan. Namun di balik itu, terdapat pandangan dunia (worldview) dan pola pikir (mind set) masyarakat yang keliru, yang dipengaruhi oleh sistem etika agama dan budaya. Fasisme adalah wajah yang paling representatif menggambarkan kaum miskin. Mereka menilai bahwa kemiskinan merupakan kehendak Tuhan, dan oleh karena itu harus diterima dengan lapang dada. Ajaran agama yang mereka terima, bukan sebagai ajaran iluminatif yang seharusnya mencerahkan. Malah, seringkali menjustifikasi kemiskinan mereka.
Maka, untuk menyadarkan mereka diperlukan piranti yang disebut teologi pembebasan. Menurut Schoof (1970) teologi adalah refleksi sistematis dan metodis tentang realitas iman, yaitu "integrasi ilmiah dari sabda Tuhan sebagaimana itu ditujukan kepada kita". Sementara, "pembebasan" adalah refleksi kritis tentang Tuhan baik dalam iman, tindakan dan realitas kesejarahan.
Secara historis, teologi pembebasan muncul dalam tradisi Kristen sebagai gugatan moral dan sosial terhadap ketergantungan pada kapitalisme, sebagai alternatif terhadap cara hidup individualistik, penentangan terhadap pemberhalaan harta dan kekuasaan, kecaman terhadap teologi tradisional, serta pembacaan baru pada sumber-sumber otoritas keagamaan (Lowy, 2000). Hampir semua negara Amerika Latin selama 20 tahun ini didominasi Teologi Pembebasan. Paham ini adalah satu upaya kontekstualisasi dari ajaran dan nilai keagamaan dalam konteks sosial tertentu. Konteks sosial yang terjadi adalah penindasan, pemiskinan, keterbelakangan, dan penafian harkat manusia (Rahman, 2000).
Namun, bila kita membaca skript-skript dan sejarah agama-agama, maka di sana kita mendapatkan sebuah variabel bahwa semua agama turun untuk melawan kemiskinan, keterbelakangan, ketertindasan, dan kebodohan. Para sosok nabi adalah pembela kaum yang lemah dan tertindas (mustad'afin). Mereka menyerukan keadilan memberhangus ketimpangan, mengembangkan layar persaudaran universal mempersempit rung gerak individualisme. Dus, Islam menyimpan amunisi yang bisa dijadikan teologi bagi kaum tertindas.
Teologi kaum tertindas menekankan perubahan struktur menuju masyarakat bebas dari segenap bentuk penindasan, atau penciptaan suatu masyarakat tauhidi, di mana keadilan dan pemeratan menjadi conditio sine qua non. Masyarakat tauhidi terwujud bila tidak ada lagi  golongan yang menumpuk-numpuk harta benda, yang zalim dan aniaya.
Salah satu cita-cita sosial agama Islam adalah terjaminnya kehidupan ekonomi umatnya. 
Dalam QS; 4 ayat 9 Allah berfirman, "Janganlah kalian meninggalkan anak-anak keturunan kalian dalam keadaan miskin dan terbelakang". Fakir-miskin, anak yatim dan golongan marginal lainnya, berkali-kali disebut Allah dalam firman-Nya agar umat manusia selalu memanusiakan mereka. Bahkan secara khusus, Allah memvonis sebagai pendusta agama bagi siapa saja yang melelantarkan mereka. Juga, tidak sedikit hadits yang menyerukan betapa kaum mustad'afun ini perlu dibela kemanusiaanya. Pada kesempatan lain Allah juga mengingatkan bahwa Dia tidak akan merubah nasib suatu kaum kalau kaum tersebut tidak mau merubah nasib yang membelenggunya.
Dus, secara generik, Islam sebenarnya menyimpan daya pembebas yang luar biasa. Dalam konteks mustad'afin. Teologi pembebasan Islam tidak harus dilaksanakan secara brutal dan frontal sebagaimana sejarah Afrika dan Amerika Latin, tetapi dengan jalur yang lebih kontekstual dan menyentuh sasaran. Dalam konteks Idul Fitri, semangat pembebasan ini bisa diwujudkan dalam bentuk, misalnya, pengumpulan dana zakat untuk melakukan kampaye penyadaran kaum tertindas. Atau dalam bentuk lain seperti beasiswa, latihan keterampilan, advokasi kaum marginal, subsidi kesehatan, peduli pengungsi dan rehabilitasi sarana di wilayah konflik. Inti dari bentuk program tersebut adalah iluminasi yang melibatkan pencerahan moral-spiritual. Sehingga mereka sadar bahwa mereka tertindas, bahwa ada sistem yang mendehumanisasi, bahwa ada upaya-upaya hegemoni, dan kerenanya harus ada counter hegemony.
Meski bisa jadi tindakan ini dianggap sebagai intervensi terhadap kemandirian rakyat, tapi langkah ini mutlak dilakukan untuk memberikan pencerahan dan pembukaan mata hati terhadap realitas yang sesungguhnya terjadi. Model pendidikan ala Paulo Freire yang menekankan adanya dialektika dan circle antara teks, aksi, dan refleksi secara terus menerus, adalah sebuah tawaran yang mutlak untuk dipertimbangan (Leonard,1994).

 Hari Raya Idul Fitri ini, yang dikampayekan sebagai hari kemenangan dan pembebasan, kiranya merupakan momen yang tepat untuk memanifestasikan teologi kaum tertindas. Bukan sekedar menyantuni kaum mustad'afin secara materiil karena hanya akan memanjakan mereka. Tetapi menyadarkan akan realitas kedirian mereka untuk keluar dari ketertindasan menuju kebebasan. Juga menyadarkan kaum mapan akan hak-hak kaum mustad'afin. Inilah Elan Pembebas yang terdapat dalam relung Idul Fitri.
 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar