Menggeser Batas Ketabuan
Oleh: Mohammad Hilmi Faiq
Dinamika
psikologis dan interaksi emosi antarmanusia selalu menarik sebagai bahan dasar
cerita. Apalagi jika diwarnai dengan percintaan dalam bentuk psikis maupun fisik.
Dalam film Satu Hari Nanti, semua unsur itu ada di dalamnya.
Menonton film ini berarti harus siap-siap menggeser batas ketabuan.
Kita
telanjur terbelenggu pada standar ganda dalam berkata dan bertindak.
Kemunafikan merajalela. Melarang orang korupsi, tetapi diam-diam mengeruk uang
rakyat. Mengimbau menjaga hati, tetapi tahu-tahu sudah meniduri perempuan lain.
Kemunafikan itu terjadi karena batin tidak mampu menemukan titik keseimbangan antara id atau dorongan-dorongan instingtif dengan superego.
Dengan kata lain, kita
sering tidak berani jujur pada diri sendiri. Kita yang sulit jujur itu lalu
mencari legitimasi moral lewat ajaran-ajaran moral atau teks-teks kitab suci.
Kita bertindak atas dasar rasionalisasi moral masing-masing.
Pada
titik inilah sering muncul benturan antara kebenaran yang satu melawan
kebenaran yang lain. Sebab, kebenaran milik orang per orang, bukan lagi menjadi
standar komunal. Apa yang dianggap benar oleh seseorang, belum tentu benar juga
oleh orang lain. Apalagi jika sesuatu yang benar atau salah itu mempertaruhkan
kedudukan dan kelangsungan hidup kita.
Mana
ada koruptor mengaku mengorupsi uang rakyat. Meskipun pengadilan sudah
membacakan amar putusan, mereka membantahnya. Mana ada pemerkosa mengaku telah
merenggut kehormatan perempuan meskipun sang korban menjerit kehilangan masa
depan. Mereka berdiri di balik argumen kebenaran masing-masing yang berisi
ketidakjujuran. Ketika ada pihak yang memaparkan kebenaran, biasanya kelompok
ini mati-matian membantahnya. Denial.
Film Satu
Hari Nanti yang diproduksi Rumah Film dan Evergreen Pictures mengajak
penonton untuk jujur. Setidaknya jujur terhadap realitas. Bahwa apa yang
disuguhkan dalam film ini memang terjadi di dunia nyata. Perkara apakah
adegan-adegan itu nanti ditiru penonton, itu menjadi wilayah moral
masing-masing penonton.
Bertabur
ciuman
Film
yang ditulis dan disutradarai Salman Aristo ini menceritakan dinamika asmara
empat pemuda tanggung yang hidup di Swiss. Mereka yang tengah berada di puncak
pertumbuhan hormonal ini mengalami krisis pencarian diri. Dengan latar
belakangan hidup yang variatif, film ini menjadi sangat dinamis dan provokatif.
Adegan
ciuman muncul mulai dari sepuluh menit pertama. Selanjutnya, adegan serupa
muncul berulang dengan variasi dan suasana berbeda. Film ini memunculkan
kemampuan akting lain dari Adinia Wirasti (Alya), Ringgo Agus Rachman (Din),
Ayushita (Chorina), dan Deva Mahenra (Bima).
Alya
yang seorang mahasiswa berprestasi sedang galau antara mengikuti kata hati atau
menuruti kemauan ayahnya. Din yang seorang pemandu wisata memiliki masa lalu
traumatik dan kurang kasih sayang, lalu mencoba membalas dendam dengan menjadi
petualang cinta. Ada juga Chorina, manajer hotel mewah di Swiss, yang anak
orang kaya dan hidupnya serba mudah, tetapi sering kesepian. Terakhir adalah
Bima, mati-matian meniti karier musiknya dan mengejar cintanya hingga ke Swiss.
Keempat karakter ini berinteraksi dalam balut cinta, pengkhianatan,
kemunafikan, dan kemaafan.
Melihat
gejala dewasa ini yang semakin banyak kaum moralis, bisa jadi film ini akan
mendapat banyak protes jika tidak disikapi secara proporsional. Makanya, Salman
dan Dienan Silmy selaku produser meminta Lembaga Sensor Film memasukkan film
ini ke kategori untuk 21 tahun ke atas alias film dewasa. Dewasa di sini tentu
bisa dimaknai juga sebagai dewasa dalam bersikap, bukan melulu soal usia
kalender.
Adegan-adegan
intim dalam film ini juga tidak dieksplorasi secara murahan sebagaimana
film-film jadul yang penuh desah dan lenguh. Salman
menyajikannya secara lebih simbolik tanpa mengurangi kesan kedalaman maknanya.
Makanya, film ini lebih banyak menggunakan medium-shot atau
bahkan long-shot, bukan close up. ”Intinya iturelationship.
Pendekatan ruang. Ini bukan keintiman yang seksualitas,” ujar Salman.
Sebab,
film ini bukan tentang tokoh dan sensualitasnya, melainkan tentang keintiman
dan ruang. Oleh karena itu lebih banyak menampilkan adegan kemesraan dengan
latar ruang yang luas, baik di dalam maupun di luar. Salman, misalnya, dengan
cerdik menggambarkan hubungan perselingkuhan dengan menampilkan Bima dan
Chorina berlatar belakang foto mesra Chorina dan Din.
”Intinya iturelationship. Pendekatan ruang. Ini bukan keintiman yang seksualitas,”
Impor
pemain
Film
ini digarap selama sekitar 26 hari di Swiss dengan melibatkan belasan pemain
lokal. Akan tetapi, karena film bukan industri utama di Swiss, Salman kesulitan
mencari pemain lokal dan akhirnya harus mendatangkan beberapa pemain dari
Jerman dan Belanda. Tampak sekali Salman menghindari film jalan-jalan
atau touristic. Kemunculan pemain-pemain lokal memberi kesan
bahwa film ini menyatu dengan kultur dan atmosfer yang menyatu.
Soal
hubungan intim tadi, sebenarnya bukan hal baru jika rajin menyimak film-film
Salman lainnya. Sebutlah Jakarta Maghrib (2010) dan Jakarta
Hati (2012). Di film Jakarta Maghrib, Salman menampilkan
adegan seorang satpam (Indra Birowo) yang ingin berhubungan seks dengan
istrinya (Widi Mulia), tetapi gagal lantaran anak bayinya menangis. Di Jakarta
Hati juga muncul adegan dewasa selama bermenit-menit.
Pendek
kata, Salman sudah terbiasa menggarap tema-tema film dewasa. Bukan soal
seksualitas dan sensualitas, melainkan kedewasaan emosionalnya. Nah, dalam
film Satu Hari Nanti pun, Salman menghadirkan adegan yang tak
jauh berbeda. Jadi, jika nonton film ini, siap-siap standar
ketabuan Anda bergeser.
notes: foto-foto dokumen Rumah Film
Alhamdulillah sudah 22 tahun aku jadi boleh nongton ini ya maz? Hehe
BalasHapusTetap ga boleh nonton, kalau ga beli tiket hehehehe. Selamat nonton mbak
HapusAlhamdulillah sudah 22 tahun aku jadi boleh nongton ini ya maz? Hehe
BalasHapus