Kamis, 07 Desember 2017

Menggeser Batas Ketabuan

Oleh: Mohammad Hilmi Faiq

Dinamika psikologis dan interaksi emosi antarmanusia selalu menarik sebagai bahan dasar cerita. Apalagi jika diwarnai dengan percintaan dalam bentuk psikis maupun fisik. Dalam film Satu Hari Nanti, semua unsur itu ada di dalamnya. Menonton film ini berarti harus siap-siap menggeser batas ketabuan.

Kita telanjur terbelenggu pada standar ganda dalam berkata dan bertindak. Kemunafikan merajalela. Melarang orang korupsi, tetapi diam-diam mengeruk uang rakyat. Mengimbau menjaga hati, tetapi tahu-tahu sudah meniduri perempuan lain.

Kemunafikan itu terjadi karena batin tidak mampu menemukan titik keseimbangan antara id atau dorongan-dorongan instingtif dengan superego. 

Dengan kata lain, kita sering tidak berani jujur pada diri sendiri. Kita yang sulit jujur itu lalu mencari legitimasi moral lewat ajaran-ajaran moral atau teks-teks kitab suci. Kita bertindak atas dasar rasionalisasi moral masing-masing.

Pada titik inilah sering muncul benturan antara kebenaran yang satu melawan kebenaran yang lain. Sebab, kebenaran milik orang per orang, bukan lagi menjadi standar komunal. Apa yang dianggap benar oleh seseorang, belum tentu benar juga oleh orang lain. Apalagi jika sesuatu yang benar atau salah itu mempertaruhkan kedudukan dan kelangsungan hidup kita.

Mana ada koruptor mengaku mengorupsi uang rakyat. Meskipun pengadilan sudah membacakan amar putusan, mereka membantahnya. Mana ada pemerkosa mengaku telah merenggut kehormatan perempuan meskipun sang korban menjerit kehilangan masa depan. Mereka berdiri di balik argumen kebenaran masing-masing yang berisi ketidakjujuran. Ketika ada pihak yang memaparkan kebenaran, biasanya kelompok ini mati-matian membantahnya. Denial.


Film Satu Hari Nanti yang diproduksi Rumah Film dan Evergreen Pictures mengajak penonton untuk jujur. Setidaknya jujur terhadap realitas. Bahwa apa yang disuguhkan dalam film ini memang terjadi di dunia nyata. Perkara apakah adegan-adegan itu nanti ditiru penonton, itu menjadi wilayah moral masing-masing penonton.


Bertabur ciuman
Film yang ditulis dan disutradarai Salman Aristo ini menceritakan dinamika asmara empat pemuda tanggung yang hidup di Swiss. Mereka yang tengah berada di puncak pertumbuhan hormonal ini mengalami krisis pencarian diri. Dengan latar belakangan hidup yang variatif, film ini menjadi sangat dinamis dan provokatif.

Adegan ciuman muncul mulai dari sepuluh menit pertama. Selanjutnya, adegan serupa muncul berulang dengan variasi dan suasana berbeda. Film ini memunculkan kemampuan akting lain dari Adinia Wirasti (Alya), Ringgo Agus Rachman (Din), Ayushita (Chorina), dan Deva Mahenra (Bima).



Alya yang seorang mahasiswa berprestasi sedang galau antara mengikuti kata hati atau menuruti kemauan ayahnya. Din yang seorang pemandu wisata memiliki masa lalu traumatik dan kurang kasih sayang, lalu mencoba membalas dendam dengan menjadi petualang cinta. Ada juga Chorina, manajer hotel mewah di Swiss, yang anak orang kaya dan hidupnya serba mudah, tetapi sering kesepian. Terakhir adalah Bima, mati-matian meniti karier musiknya dan mengejar cintanya hingga ke Swiss. Keempat karakter ini berinteraksi dalam balut cinta, pengkhianatan, kemunafikan, dan kemaafan.

Melihat gejala dewasa ini yang semakin banyak kaum moralis, bisa jadi film ini akan mendapat banyak protes jika tidak disikapi secara proporsional. Makanya, Salman dan Dienan Silmy selaku produser meminta Lembaga Sensor Film memasukkan film ini ke kategori untuk 21 tahun ke atas alias film dewasa. Dewasa di sini tentu bisa dimaknai juga sebagai dewasa dalam bersikap, bukan melulu soal usia kalender.

Adegan-adegan intim dalam film ini juga tidak dieksplorasi secara murahan sebagaimana film-film jadul yang penuh desah dan lenguh. Salman menyajikannya secara lebih simbolik tanpa mengurangi kesan kedalaman maknanya. Makanya, film ini lebih banyak menggunakan medium-shot atau bahkan long-shot, bukan close up. ”Intinya iturelationship. Pendekatan ruang. Ini bukan keintiman yang seksualitas,” ujar Salman.



Sebab, film ini bukan tentang tokoh dan sensualitasnya, melainkan tentang keintiman dan ruang. Oleh karena itu lebih banyak menampilkan adegan kemesraan dengan latar ruang yang luas, baik di dalam maupun di luar. Salman, misalnya, dengan cerdik menggambarkan hubungan perselingkuhan dengan menampilkan Bima dan Chorina berlatar belakang foto mesra Chorina dan Din.

”Intinya iturelationship. Pendekatan ruang. Ini bukan keintiman yang seksualitas,”

Impor pemain
Film ini digarap selama sekitar 26 hari di Swiss dengan melibatkan belasan pemain lokal. Akan tetapi, karena film bukan industri utama di Swiss, Salman kesulitan mencari pemain lokal dan akhirnya harus mendatangkan beberapa pemain dari Jerman dan Belanda. Tampak sekali Salman menghindari film jalan-jalan atau touristic. Kemunculan pemain-pemain lokal memberi kesan bahwa film ini menyatu dengan kultur dan atmosfer yang menyatu.

Soal hubungan intim tadi, sebenarnya bukan hal baru jika rajin menyimak film-film Salman lainnya. Sebutlah Jakarta Maghrib (2010) dan Jakarta Hati (2012). Di film Jakarta Maghrib, Salman menampilkan adegan seorang satpam (Indra Birowo) yang ingin berhubungan seks dengan istrinya (Widi Mulia), tetapi gagal lantaran anak bayinya menangis. Di Jakarta Hati juga muncul adegan dewasa selama bermenit-menit.
Pendek kata, Salman sudah terbiasa menggarap tema-tema film dewasa. Bukan soal seksualitas dan sensualitas, melainkan kedewasaan emosionalnya. Nah, dalam film Satu Hari Nanti pun, Salman menghadirkan adegan yang tak jauh berbeda. Jadi, jika nonton film ini, siap-siap standar ketabuan Anda bergeser.

notes: foto-foto dokumen Rumah Film


3 komentar:

  1. Alhamdulillah sudah 22 tahun aku jadi boleh nongton ini ya maz? Hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tetap ga boleh nonton, kalau ga beli tiket hehehehe. Selamat nonton mbak

      Hapus
  2. Alhamdulillah sudah 22 tahun aku jadi boleh nongton ini ya maz? Hehe

    BalasHapus