Selasa, 06 Juni 2017

Aku Mencintaimu Walaupun…


Ketika masih unyu-unyu, seseorang kerap terdera gelombang cinta. Cirinya antara lain, gelisah, susah tidur, deg-degan ketika ketemu gebetan, atau takut keluar rumah (yang ini mungkin bukan karena jatuh cinta, melainkan takut ditagih hutang oleh tetangga hehehe). Fokus kita hanya pada yang kita cinta.

Singkat kata, pacaranlah kita, eh menikahlah kita. Pada masa-masa awal, semuanya terasa indah. Ada ketulusan di sana. Ada kerelaan berkorban. Orang menyebutnya, fase bulan madu. Detik, jam, hari, pekan, dan bulan yang penuh madu. Semua terasa manis meskipun saat hujan dan kelaparan sekalipun. “Yang penting ada kamu di sampingku.”

Pada fase itu, seseorang mencintai pasangannya dengan kalimat, “Aku mencintaimu kerena…”

Karena kamu cantik. Karena kamu pintar. Karena kamu gagah. Karena kamu sabar. Karena kamu kaya. Karena kamu satu-satunya cowok yang mau sama aku. Karena bapakmu kaya. Karena tidak ada lagi perempuan di desa ini. Karena sudah lewat deadline. Dan, karena-karena yang lain, yang ketika didengar pasangan membuat dia melambung sampai lupa kalau mereka lapar dan kehujanan.

Cinta yang penuh fantasi dan imajinasi. Cinta yang lebih didasari egoisme: mencari pasangan sesuai dengan harapan hati. Cinta yang transaksional. Sah-sah saja dalam hubungan asmara.

Purnama demi purnama, bulan berganti tahun, presiden berganti presiden yang lain. Biduk cinta masih utuh mengarungi lembut, keras, arif, dan kejamnya hidup. Segala yang manis terasa indah. Segala yang pahit terasa penuh makna.  “Yang penting ada kamu di samping ku.”

Pada fase ini, masing-masing mulai menyadari kekurangan pada diri pasangan. “Ternyata dia tak secantik dulu. Ternyata dia tak sepintar yang kuduga. Ternyata dia tak segagah itu. Ternyata dia tak sesabar bayanganku. Teryata kekayaannya hanya segitu. Ternyata masih banyak yang lebih baik dari dia,” begitu batin menyadari atas pasangan hidup.

Hidup adalah pilihan dan manusia bertanggung jawab atas segala yang dia pilih. Lalu kita merenung dan memutuskan tak mungkin berpisah dengan pasangan hidup yang telah demikian lama menemani hari-hari. “Bagaimana pun dirimu, aku tetap mencintaimu.”

“Aku mencintaimu walaupun kamu tak secantik dulu. Aku mencintaimu walaupun kamu tak sepintar yang kuduga. Aku mencintaimu walaupun kamu tak segagah dulu. Aku mencintaimu walaupun kamu tak sesabar bayanganku. Aku mencintaimu walaupun masih banyak yang lebih baik dari kamu. Aku mencintaimu walaupun…”

Cinta yang penuh pemakluman. Cinta yang penuh pengertian. Cinta yang mementingkan keutuhan.
“Aku mencintaimu asal kamu enggak selingkuh.”

---00---


Dalam berbangsa dan bernegara, kita mempunyai bayangan ideal terhadap masyarakat. Dalam lubuk paling dalam dan paling instingtif, kita menginginkan semua orang bersikap, berucap, bahkan mewujud seperti yang kita inginkan. Ketika kita menemukannya, kita akan berujar, “Aku menyukaimu karena kamu seperti yang aku inginkan.”

Tetapi realitas kerap kali tidak sesuai dengan harapan kita. Kita hidup dalam masyarakat majemuk yang demikian beragam. Bukan saja perbedaan serupa, sikap, orientasi, tetapi juga kerap menemukan orang yang bahkan bertentangan dengan segala tata nilai yang kita pegang.

Ada tetangga kita yang beda agama, beda suku, beda ras, dan beda partai politik. Ada teman kita seagama, tetapi beda cara pandang terhadap agama lain. Ada istri dari teman kita yang sikapnya sama sekali jauh dari harapan kita. Bahkan sangat mungkin ada yang membenci kita karena keadaan dan sikap kita. Inilah hidup.

Apakah lalu kita akan berbalik membenci? Lalu apakah kita akan memaksa mereka untuk menjadi seperti harapan kita? Jika demikian, berat sekali hidup ini. Jika demikian, lantas dimana nilai kemanusiaan kita. Aku tak rela
Agamaku mengajarkan welas asih, cinta kasih, kelemah-lembutan. Nabi junjunganku tidak mengajarkan dendam apalagi benci. Nabiku lemah lembut dalam bertutur kata.  Tak ada guna rajin ke masjid, vihara, gereja kalau mudah membenci dan marah. Sikap kita adalah cermin kedewasaan dalam beragama.

Oleh karena itu, aku memilih cara lain, “Aku mencintaimu walaupun…”
Aku mencintai saudara sebangsa dan setanah air walaupun mereka berbeda. Aku juga mencintaimu walaupun kamu Kristen, Katholik, Buddha, Konghuchu, Islam, maupun penghayat.  Aku mencintaimu walaupun kamu Sunni, Syiah, Ahmadiyah, atau Gafatar. Aku mencintaimu walaupun kamu batak, jawa, papua, dayak, atau lainnya.”

Aku mencintaimu karena kamu manusia

Aku mencintaimu walaupun…   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar