Ketika masih unyu-unyu, seseorang kerap terdera gelombang cinta. Cirinya
antara lain, gelisah, susah tidur, deg-degan ketika ketemu gebetan, atau takut
keluar rumah (yang ini mungkin bukan karena jatuh cinta, melainkan takut ditagih
hutang oleh tetangga hehehe). Fokus kita hanya pada yang kita cinta.
Singkat kata,
pacaranlah kita, eh menikahlah kita. Pada masa-masa awal, semuanya terasa
indah. Ada ketulusan di sana. Ada kerelaan berkorban. Orang menyebutnya, fase
bulan madu. Detik, jam, hari, pekan, dan bulan yang penuh madu. Semua terasa
manis meskipun saat hujan dan kelaparan sekalipun. “Yang penting ada kamu di
sampingku.”
Pada fase itu,
seseorang mencintai pasangannya dengan kalimat, “Aku mencintaimu kerena…”
Karena kamu cantik.
Karena kamu pintar. Karena kamu gagah. Karena kamu sabar. Karena kamu kaya.
Karena kamu satu-satunya cowok yang mau sama aku. Karena bapakmu kaya. Karena
tidak ada lagi perempuan di desa ini. Karena sudah lewat deadline. Dan,
karena-karena yang lain, yang ketika didengar pasangan membuat dia melambung
sampai lupa kalau mereka lapar dan kehujanan.
Cinta yang penuh
fantasi dan imajinasi. Cinta yang lebih didasari egoisme: mencari pasangan
sesuai dengan harapan hati. Cinta yang transaksional. Sah-sah saja dalam
hubungan asmara.
Purnama demi
purnama, bulan berganti tahun, presiden berganti presiden yang lain. Biduk
cinta masih utuh mengarungi lembut, keras, arif, dan kejamnya hidup. Segala
yang manis terasa indah. Segala yang pahit terasa penuh makna. “Yang penting ada kamu di samping ku.”
Pada fase ini,
masing-masing mulai menyadari kekurangan pada diri pasangan. “Ternyata dia tak
secantik dulu. Ternyata dia tak sepintar yang kuduga. Ternyata dia tak segagah
itu. Ternyata dia tak sesabar bayanganku. Teryata kekayaannya hanya segitu.
Ternyata masih banyak yang lebih baik dari dia,” begitu batin menyadari atas
pasangan hidup.
Hidup adalah
pilihan dan manusia bertanggung jawab atas segala yang dia pilih. Lalu kita
merenung dan memutuskan tak mungkin berpisah dengan pasangan hidup yang telah
demikian lama menemani hari-hari. “Bagaimana pun dirimu, aku tetap
mencintaimu.”
“Aku mencintaimu
walaupun kamu tak secantik dulu. Aku mencintaimu walaupun kamu tak sepintar
yang kuduga. Aku mencintaimu walaupun kamu tak segagah dulu. Aku mencintaimu
walaupun kamu tak sesabar bayanganku. Aku mencintaimu walaupun masih banyak
yang lebih baik dari kamu. Aku mencintaimu walaupun…”
Cinta yang penuh
pemakluman. Cinta yang penuh pengertian. Cinta yang mementingkan keutuhan.
“Aku mencintaimu
asal kamu enggak selingkuh.”
---00---
Dalam berbangsa dan
bernegara, kita mempunyai bayangan ideal terhadap masyarakat. Dalam lubuk
paling dalam dan paling instingtif, kita menginginkan semua orang bersikap,
berucap, bahkan mewujud seperti yang kita inginkan. Ketika kita menemukannya,
kita akan berujar, “Aku menyukaimu karena kamu seperti yang aku inginkan.”
Tetapi realitas
kerap kali tidak sesuai dengan harapan kita. Kita hidup dalam masyarakat
majemuk yang demikian beragam. Bukan saja perbedaan serupa, sikap, orientasi,
tetapi juga kerap menemukan orang yang bahkan bertentangan dengan segala tata
nilai yang kita pegang.
Ada tetangga
kita yang beda agama, beda suku, beda ras, dan beda partai politik. Ada teman
kita seagama, tetapi beda cara pandang terhadap agama lain. Ada istri dari
teman kita yang sikapnya sama sekali jauh dari harapan kita. Bahkan sangat
mungkin ada yang membenci kita karena keadaan dan sikap kita. Inilah hidup.
Apakah lalu kita
akan berbalik membenci? Lalu apakah kita akan memaksa mereka untuk menjadi
seperti harapan kita? Jika demikian, berat sekali hidup ini. Jika demikian,
lantas dimana nilai kemanusiaan kita. Aku tak rela
Agamaku mengajarkan
welas asih, cinta kasih, kelemah-lembutan. Nabi junjunganku tidak mengajarkan
dendam apalagi benci. Nabiku lemah lembut dalam bertutur kata. Tak ada guna rajin ke masjid, vihara, gereja
kalau mudah membenci dan marah. Sikap kita adalah cermin kedewasaan dalam
beragama.
Oleh karena itu,
aku memilih cara lain, “Aku mencintaimu walaupun…”
Aku mencintai
saudara sebangsa dan setanah air walaupun mereka berbeda. Aku juga mencintaimu
walaupun kamu Kristen, Katholik, Buddha, Konghuchu, Islam, maupun penghayat. Aku mencintaimu walaupun kamu Sunni, Syiah, Ahmadiyah,
atau Gafatar. Aku mencintaimu walaupun kamu batak, jawa, papua, dayak, atau
lainnya.”
Aku mencintaimu
karena kamu manusia
Aku mencintaimu
walaupun…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar