Kamis, 18 Juni 2015

Lepas dari Bayang-bayang Kata
Cerpen dan ilustrasi sejatinya adalah dua hal yang berdiri sendiri meskipun keduanya terpatri pada lembar yang sama. Maka dari itu, ilustrasi cerpen tetap menemukan maknanya ketika dipamerkan secara terpisah.

Itu setidaknya dapat disimak dalam pemeran Ilustrasi Cerpen Kompas 2014 yang digelar di Bentara Budaya Jakarta, Rabu (10/6) sampai Jumat (19/6). Pameran digelar sebagai bagian dari acara malam penganugerahan Cerpen Pilihan Kompas 2014. Sejak 2002, Kompas secara rutin memamerkan karya-karya ilustrasi cerpen tersebut.

Bahwa ilustrasi cerpen mempercantik perwajahan halaman koran, itu sudah pasti. Tetapi, terlalu reduktif jika memaknai ilustrasi cerpen Kompas hanya sebatas mempercantik atau sebagai wadah penggambaran cerita dari cerpen terkait.

Pada awalnya, ilustrasi cerpen dimaksudkan sebagai upaya mempertemukan gagasan antara cerpenis dan perupa. Ide ini kemudian bergulir seperti nyala api pada setumpuk jerami, menggelora dan membara. Para perupa menafsir barisan-barisan kata cerpenis itu secara luas menjadi imaji yang kerap kali melampaui teks itu sendiri. Pada akhirnya, teks hanyalah menjadi sumber inspirasi perupa untuk melahirkan karya rupa yang benar-benar baru.

Dalam konteks itu, cerpen dan ilustrasi cerpen adalah dua gagasan yang berbeda meskipun dalam beberapa karya terdapat benang merah. Namun, benang merah itu terkadang demikian tipis sehingga sulit untuk mengatakan bahwa keduanya terkait kelindan.





Simaklah karya Rahardi Handining yang menjadi ilustrasi cerpen ”Matinya Seorang Demonstran” karya Agus Noor pada Kompas, 26 Januari 2014. Cerpen itu sendiri bercerita tentang dua mahasiswa yang terpaut hatinya pada seorang gadis. Satu mahasiswa borjuis, anak purnawirawan kolonel Angkatan Darat. Lainnya, mahasiswa aktivis yang juga penulis dan gemar berunjuk rasa. Cerita berakhir dengan tewasnya mahasiswa borjuis terkena peluru aparat dan hilangnya sang aktivis. Belakangan, nama mahasiswa borjuis itu yang diabadikan menjadi nama jalan.

Handining membuat karya figuratif dengan warna-warni mencolok seperti kuning, hijau, merah, dan dominasi merah muda. Dalam gambar itu, tertangkap sesosok pria bertopi memainkan gramofon yang menyuarakan lambang cinta. Di sekelingnya bertaburan daun-daun nan menghijau.

Cerpen Agus yang demikian melankolis, ditafsir Handining menjadi karya yang begitu ceria. Titik tekan Handining bukan pada matinya sang aktivis, melainkan pada gairah muda para tokoh yang dimabuk cinta. ”Warna merah muda mewakili perasaan cinta itu,” kata Handining.

Meski demikian, Handining mencoba memberi benang merah pada citra daun-daun hijau berguguran. Ini sebagai simbol betapa pilu generasi muda tewas ketika memperjuangkan kebenaran yang diyakininya. Nah, benang merah itu ada, tetapi tipis dan rawan putus.

Lihat juga karya Laksmi Shitaresmi yang menjadi ilustrasi cerpen Afrizal Malna, ”Arsip Aku di Kedalaman Krisis” yang dimuat di Kompas, Minggu, 9 Maret 2014. Cerpen ini sangat basah karena mengambil setting cerita laut, penyelaman, terumbu karang.

Tetapi, Laksmi memberikan ilustrasi berupa binatang hybrid: seekor kura-kura berkaki belalang berjalan di atas hamparan gurun pasir yang diseraki bunga-bunga putih. Di atas kura-kura itu duduk seorang perempuan, mungkin seorang dewi, membawa guci yang meneteskan air.

Karya Laksmi ini bukti betapa cerpen itu dia tafsir sedemikian rupa sehingga menghasilkan karya yang benar-benar baru. Cerpen Afrizal berbau absurditas sehingga lebih bebas ditafsir. Terlepas dari nyambung atau tidaknya antara cerita cerpen dan ilustrasi itu, sesungguhnya karya Laksmi ini sangat ramah di mata dan tentu saja penuh makna. Dus, pada halaman yang sama, pembaca menemukan dua kenikmatan sekaligus: kenikmatan bacaan dan pandangan.

Akan tetapi, tentu saja muncul ilustrasi-ilustrasi yang terkait erat dengan cerpen. Ini tentu saja memudahkan pembaca untuk menebak sari cerita dari ribuan kata-kata yang berserak. Bacalah cerpen ”Penjual Bunga Bersyal Merah” karya Yetti AKA yang dimuat pada 12 Oktober 2014. Sang ilustrator Threeda Mayrayanyi secara agak lugas menggambarkan cerita itu dalam bentuk ilustrasi perempuan bersyal merah membawa keranjang rotan (mungkin juga bambu) penuh bunga.
Cerpen berjudul ”Kuda Emas” karya Tawakal M Iqbal pada Kompas, 22 Juni 2014. Perupa Noor Ibrahim memberikan ilustrasi patung logam berupa imaji kuda bersayap. Tak susah bukan menemukan benang merah di antara keduanya?

Benar belaka kata penulis seni rupa Bambang Bujono dalam pengantar katalog pemeran ilustrasi ini. Setidaknya muncul tiga kemungkinan pada diri pembaca ketika menyimak cerpen sekaligus menikmati ilustrasinya. Pertama, mereka menikmati keduanya karena sama-sama memikat. Kedua, pembaca semata-mata menikmati cerita sembari mengabaikan ilustrasinya. ”Pembaca melupakan ilustrasinya, meski mungkin dinikmati pula oleh pembaca, tak bisa diajak ’berjalan’ bersama cerita pendeknya.”

Ketiga, pembaca hanya menikmati ilustrasinya karena ternyata cerpennya tidak menarik. Tapi, imajinasi pembaca sangat menentukan. Apakah baginya antara cerita dan ilustrasi bisa berjalan beriringan atau malah cukup menikmati salah satunya. Ada adu kuat antara cerita dan ilustrasi.
Lepas dari itu semua, menikmati ilustrasi-ilustrasi yang dipajang di BBJ memberikan kesan yang sangat berbeda. Cobalah abaikan deretan kata di sekeliling ilustrasi itu. Bebaskan gambar-gambar itu untuk berbicara atas dan untuk dirinya sendiri. Beri kesempatan mereka lepas dari bayang-bayang kata. Kita akan menemukan gagasan dalam balutan keindahan....

Kompas, Minggu, 14 Jun 2015   Halaman: 27  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar