Sabtu, 03 November 2018

Terima Kasih Lip Sync




Sudah lama, bahkan sejak remaja, saya menyadari bahwa suara saya fals. Dengan kata lain, hancur. Nafas saya juga pendek. Waktu belajar membaca Alquran, saya susah sekali menyelesaikan satu ayat dalam satu tarikan napas, kecuali ayat-ayat pendek yang sangat popular.
            Saya sempat berfikir bahwa suara fals itu seperti jerawat yang lama-lama juga hilang. Ternyata tidak. Suara fals tak ubahnya gigi saya yang tongos. Ia abadi. Hahahahaha.
            Saya pernah berdoa, agar diberi kesempatan sesaat bersuara merdu. Sesaat saja, barang dua atau tiga menit. Minimal saat saya nyanyi untuk mengantar tidur anak saya. Sampai sekarang, suara saya tak kunjung merdu, meski barang sesaat. Saya berprasangka baik kepada Allah. Mungkin dia mengabulkan dalam bentuk lain, misalnya, ternyata suara anak saya yang merdu.
            Soal suara fals ini, kadang sungguh menyiksa. Suatu saat, anak bungsu saya, Silmi, menangis karena ngantuk tetapi suasana rumah lagi agak ramai. Saya gendong dan ayun dia berharap segera tenang dan lelap. Tapi dia masih gelisah dan merengek. Insting saya mengusulkan agar saya nyanyi agar Silmi cepat tidur. Kali ini insting saya salah, tangis Silmi makin keras. Saya yakin karena suara fals saya saat nyanyi.


            Saya tak mau kehabisan akal. Saya rogoh saku, ambil hape, putar iTunes. Pilih-pilih lagu. Dapet “Patience” ala Guns N Roses. Ketika vokalis Guns N Roses mulai bersiul, saya memonyongkan bibir pura-pura bersiul mengikuti irama lagu. Tangis Silmi reda dan lambat laun terlelap.
            Sejak saat itu saya tahu. Tidak perlu bersuara merdu untuk bisa meninabobokkan anak. Cukup bisa Lip sync alias mencocokkan gerak bibir dengan lagu.
            Itu saya ulang berkali-kali dengan beragam lagu. Uniknya, setiap saya lip sync, Silmi dengan seksama memerhatikan gerak bibir saya sebelum lambat laun terlelap. Mungkin di dalam hatinya dia menangkap kesan bahwa suara ayahnya telah membaik. Kelak jika dia besar dan bertanya resep menghilangkan suara fals, saya akan jawab bahwa itu hanya trik.
            Sekadar tambahan, lagu “Patience” menjadi lagu wajib pengantar tidur Silmi. Kalau Flo, lebih senang mendengarkan lagu “The Man Who Sold The World” versi Nirvana. Lagu ciptaan David Bowie itu dianggap Flo paling pas iramanya sebagai pengantar tidur, apalagi kalau sambil dipijiti mengikuti ketukan lagu itu.
            Saya meyakini, kelak dua lagu itu akan mengingatkan Silmi dan Flo pada saya. Pada ayahnya yang berusaha sebisa mungkin menciptakan kenyamanan sebelum terlelap menjemput impian. Inilah pentingnya menemani anak sebelum tidur.
            Mirip dengan Silmi, Flo selalu melarang ayahnya mengikuti suara vokalis Nirvana, Curt Cobain. Katanya, dia terganggu. Baeklah, saya lip sync saja. Terima kasih lip sync.
           


Kamis, 07 Desember 2017

Menggeser Batas Ketabuan

Oleh: Mohammad Hilmi Faiq

Dinamika psikologis dan interaksi emosi antarmanusia selalu menarik sebagai bahan dasar cerita. Apalagi jika diwarnai dengan percintaan dalam bentuk psikis maupun fisik. Dalam film Satu Hari Nanti, semua unsur itu ada di dalamnya. Menonton film ini berarti harus siap-siap menggeser batas ketabuan.

Kita telanjur terbelenggu pada standar ganda dalam berkata dan bertindak. Kemunafikan merajalela. Melarang orang korupsi, tetapi diam-diam mengeruk uang rakyat. Mengimbau menjaga hati, tetapi tahu-tahu sudah meniduri perempuan lain.

Kemunafikan itu terjadi karena batin tidak mampu menemukan titik keseimbangan antara id atau dorongan-dorongan instingtif dengan superego. 

Dengan kata lain, kita sering tidak berani jujur pada diri sendiri. Kita yang sulit jujur itu lalu mencari legitimasi moral lewat ajaran-ajaran moral atau teks-teks kitab suci. Kita bertindak atas dasar rasionalisasi moral masing-masing.

Pada titik inilah sering muncul benturan antara kebenaran yang satu melawan kebenaran yang lain. Sebab, kebenaran milik orang per orang, bukan lagi menjadi standar komunal. Apa yang dianggap benar oleh seseorang, belum tentu benar juga oleh orang lain. Apalagi jika sesuatu yang benar atau salah itu mempertaruhkan kedudukan dan kelangsungan hidup kita.

Mana ada koruptor mengaku mengorupsi uang rakyat. Meskipun pengadilan sudah membacakan amar putusan, mereka membantahnya. Mana ada pemerkosa mengaku telah merenggut kehormatan perempuan meskipun sang korban menjerit kehilangan masa depan. Mereka berdiri di balik argumen kebenaran masing-masing yang berisi ketidakjujuran. Ketika ada pihak yang memaparkan kebenaran, biasanya kelompok ini mati-matian membantahnya. Denial.


Film Satu Hari Nanti yang diproduksi Rumah Film dan Evergreen Pictures mengajak penonton untuk jujur. Setidaknya jujur terhadap realitas. Bahwa apa yang disuguhkan dalam film ini memang terjadi di dunia nyata. Perkara apakah adegan-adegan itu nanti ditiru penonton, itu menjadi wilayah moral masing-masing penonton.


Bertabur ciuman
Film yang ditulis dan disutradarai Salman Aristo ini menceritakan dinamika asmara empat pemuda tanggung yang hidup di Swiss. Mereka yang tengah berada di puncak pertumbuhan hormonal ini mengalami krisis pencarian diri. Dengan latar belakangan hidup yang variatif, film ini menjadi sangat dinamis dan provokatif.

Adegan ciuman muncul mulai dari sepuluh menit pertama. Selanjutnya, adegan serupa muncul berulang dengan variasi dan suasana berbeda. Film ini memunculkan kemampuan akting lain dari Adinia Wirasti (Alya), Ringgo Agus Rachman (Din), Ayushita (Chorina), dan Deva Mahenra (Bima).



Alya yang seorang mahasiswa berprestasi sedang galau antara mengikuti kata hati atau menuruti kemauan ayahnya. Din yang seorang pemandu wisata memiliki masa lalu traumatik dan kurang kasih sayang, lalu mencoba membalas dendam dengan menjadi petualang cinta. Ada juga Chorina, manajer hotel mewah di Swiss, yang anak orang kaya dan hidupnya serba mudah, tetapi sering kesepian. Terakhir adalah Bima, mati-matian meniti karier musiknya dan mengejar cintanya hingga ke Swiss. Keempat karakter ini berinteraksi dalam balut cinta, pengkhianatan, kemunafikan, dan kemaafan.

Melihat gejala dewasa ini yang semakin banyak kaum moralis, bisa jadi film ini akan mendapat banyak protes jika tidak disikapi secara proporsional. Makanya, Salman dan Dienan Silmy selaku produser meminta Lembaga Sensor Film memasukkan film ini ke kategori untuk 21 tahun ke atas alias film dewasa. Dewasa di sini tentu bisa dimaknai juga sebagai dewasa dalam bersikap, bukan melulu soal usia kalender.

Adegan-adegan intim dalam film ini juga tidak dieksplorasi secara murahan sebagaimana film-film jadul yang penuh desah dan lenguh. Salman menyajikannya secara lebih simbolik tanpa mengurangi kesan kedalaman maknanya. Makanya, film ini lebih banyak menggunakan medium-shot atau bahkan long-shot, bukan close up. ”Intinya iturelationship. Pendekatan ruang. Ini bukan keintiman yang seksualitas,” ujar Salman.



Sebab, film ini bukan tentang tokoh dan sensualitasnya, melainkan tentang keintiman dan ruang. Oleh karena itu lebih banyak menampilkan adegan kemesraan dengan latar ruang yang luas, baik di dalam maupun di luar. Salman, misalnya, dengan cerdik menggambarkan hubungan perselingkuhan dengan menampilkan Bima dan Chorina berlatar belakang foto mesra Chorina dan Din.

”Intinya iturelationship. Pendekatan ruang. Ini bukan keintiman yang seksualitas,”

Impor pemain
Film ini digarap selama sekitar 26 hari di Swiss dengan melibatkan belasan pemain lokal. Akan tetapi, karena film bukan industri utama di Swiss, Salman kesulitan mencari pemain lokal dan akhirnya harus mendatangkan beberapa pemain dari Jerman dan Belanda. Tampak sekali Salman menghindari film jalan-jalan atau touristic. Kemunculan pemain-pemain lokal memberi kesan bahwa film ini menyatu dengan kultur dan atmosfer yang menyatu.

Soal hubungan intim tadi, sebenarnya bukan hal baru jika rajin menyimak film-film Salman lainnya. Sebutlah Jakarta Maghrib (2010) dan Jakarta Hati (2012). Di film Jakarta Maghrib, Salman menampilkan adegan seorang satpam (Indra Birowo) yang ingin berhubungan seks dengan istrinya (Widi Mulia), tetapi gagal lantaran anak bayinya menangis. Di Jakarta Hati juga muncul adegan dewasa selama bermenit-menit.
Pendek kata, Salman sudah terbiasa menggarap tema-tema film dewasa. Bukan soal seksualitas dan sensualitas, melainkan kedewasaan emosionalnya. Nah, dalam film Satu Hari Nanti pun, Salman menghadirkan adegan yang tak jauh berbeda. Jadi, jika nonton film ini, siap-siap standar ketabuan Anda bergeser.

notes: foto-foto dokumen Rumah Film


Selasa, 20 Juni 2017

Menemukan Elan Pembebas di Relung Idul Fitri

M Hilmi Faiq




MASYARAKAT muslim kembali bersua dengan moment Idul Fitri yang secara serentak dirayakan pada 25 Juni 2017. Momen tahunan ini merupakan ritus yang menandakan bahwa bulan puasa telah berakhir sekaligus puncak perayaan kemenangan umat Islam setelah berjuang selama satu bulan puasa dalam mengendalikan hafsu, memerangi kesombonmgan diri, refleksi diri, membendung arus syahwati, serta membangung irama ritual dalam beragama agar lebih ritmis. Singkatnya, Ramadhan merupakan even sakral dimana setiap umat Islam dituntut untu mreningkatkan kualitas keberagamaannya.
Tentu saja kereragaaan ini tidak hanya berpusar pada aras ritual personal seperti shalat, membaca al-qur’an, serta puasa itu sendiri. Namun puasa juga syarat dengan nuansa kesholehan sosial yang sedikit banyak tercermin dalam kewajiban mengeluarkan zakat fitrah di akhir Ramadhan. Begitu juga, kalu kita tilik lebih dalam, pada hakikatnya salah satu nilai implisit dalam ritus puasa dalah agar umat Islam menyadari bahwa kondisi haus dan lapar adalah perasaan yang menyakitkan. Sehingga mereka menginsafi bagaimana kehidupan kaum fakir miskin dalam memperjuangkan hidup dan menanggung lapar. Bagi yang mampu, keadaan lapar dalam bulan puasa akan segera berakhir setelah adzan magrib dikumandangkan. Tetapi bagi kaum fakir miskin yang tertindas secara ekonomi, rasa hahaga dan lapar senantiasa dideritanya, dan mereka tidak tahu kapan bisa berbuka. Demikianlah, dahaga dan lapar telah bersetubuh dengan mereka, kaum fakir miskin.
Semangat duniawi yang direpresentasikan dengan cinta kebendaan telah menghitamkan sisi kemanusiaan. Dalam atmosfer modern, di mana kapitalisme menjadi idiologi dominan, semangat duniawi ini semakin menemukan tempat. Kapitalisme telah  menjelma sebagi mekanisme baru untuk melakukan dominasi. Kondisi ini mengakibatkan redistribusi kesejahteraan akan hanya berputar pada kelas tertentu yang menguasai moda-moda industri dan produksi. Ironisnya, hal itu didukung oleh kebijakan negara yang jarang sekali berpihak pada masyarakat miskin dan tertindas. Justeru, yang dilakukan adalah perselingkuhan politik dan ekonomi guna memperkaya konglomerat dan elite kekuasaan. Kebijakan itu memang sangat berkesesuaian dengan ciri neo-liberalisme yang menampakkan wajah pada era globalisasi ini (Fakih, 2001). Pada sisi inilah Idul Fitri mengetuk naluri kemanusiaan.
Namun, globalisasi yang semakin memanjakan umat manusia secara sepihak, juga menyisakan derita yang tak kunjung berakhir bagi pihak lain. Paradok kemakmuran kian kentara, kesenjangan ekonomi kian menganga. Di satu sisi, kemakmuran dan kesejahteraan terlihat semakin jelas. Di sisi lain, di pelosok-pelosok desa, di bawah jembatan kota, di tepi-tepi sungai, dan di semua wilayah pheriperal itu, kita menyaksikan saudara kita yang tidak sempat menyenyam pendidikan, kesusahan memenuhi kebutuhan pangan, jauh dari akses kemakmuran, serta senantiasa tertindas oleh sistem ekonomi yang tidak humanis.
Kondisi ini semakin memprihatinkan ketika kita menyaksikan betapa mereka yang kaya, sejahtera dan mengaku beragama, seolah tidak peduli dan tidak menunjukkan simpati yang berarti (deep sympaty) terhadap golongan di atas. Yang lebih banyak mereka tonjolkan adalah aksi dan bualan-bualan kosong dengan tujuan politis agar nampak dermawan dan peduli dengan sesama. Golongan ini tidak hanya berasal dari mereka yang minim pengetahuan agamanya, tetapi juga para santri yang akhirnya jaya secara ekomoni. Bagi sebagian besar golongan ini, kemiskinan dan kemelaratan adalah garis tangan yang harus diterima, dan kalaupun harus diubah harus dengan upaya pribadi bukan mengharap santunan orang lain.
Padahal, kemiskinan adalah musuh setiap bangsa, musuh kemanusian, dan karenanya kemiskinan adalah musuh setiap agama. Sebab pada dasarnya setiap agama senantiasa menjanjikan kebaikan hidup dengan menonjolkan sisi humanitas.
Secara struktural, kemiskinan lebih disebabkan oleh ketidakadilan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Di balik kemiskinan tersimpam sistem-sistem hegemonik yang secara sadar mengabadikan kemiskinan itu sendiri. Ironisnya, kenyataan ini tidak disadari oleh kaum miskin itu sendiri. Inilah fenomena culture of silence, di mana orang tertindas tidak menyadari ketertindasannya. 
Orang miskin tidak menyadari kemiskinannya, bahkan cenderung menikmatinya. Kenyataan semacam inilah yang oleh Herbet Marcuse dalam Eros end Civilization disebut sebagai desublimasi represif.
Kapitalisme global memang bisa disebut sebagai faktor utama penyebab kemiskinan. Namun di balik itu, terdapat pandangan dunia (worldview) dan pola pikir (mind set) masyarakat yang keliru, yang dipengaruhi oleh sistem etika agama dan budaya. Fasisme adalah wajah yang paling representatif menggambarkan kaum miskin. Mereka menilai bahwa kemiskinan merupakan kehendak Tuhan, dan oleh karena itu harus diterima dengan lapang dada. Ajaran agama yang mereka terima, bukan sebagai ajaran iluminatif yang seharusnya mencerahkan. Malah, seringkali menjustifikasi kemiskinan mereka.
Maka, untuk menyadarkan mereka diperlukan piranti yang disebut teologi pembebasan. Menurut Schoof (1970) teologi adalah refleksi sistematis dan metodis tentang realitas iman, yaitu "integrasi ilmiah dari sabda Tuhan sebagaimana itu ditujukan kepada kita". Sementara, "pembebasan" adalah refleksi kritis tentang Tuhan baik dalam iman, tindakan dan realitas kesejarahan.
Secara historis, teologi pembebasan muncul dalam tradisi Kristen sebagai gugatan moral dan sosial terhadap ketergantungan pada kapitalisme, sebagai alternatif terhadap cara hidup individualistik, penentangan terhadap pemberhalaan harta dan kekuasaan, kecaman terhadap teologi tradisional, serta pembacaan baru pada sumber-sumber otoritas keagamaan (Lowy, 2000). Hampir semua negara Amerika Latin selama 20 tahun ini didominasi Teologi Pembebasan. Paham ini adalah satu upaya kontekstualisasi dari ajaran dan nilai keagamaan dalam konteks sosial tertentu. Konteks sosial yang terjadi adalah penindasan, pemiskinan, keterbelakangan, dan penafian harkat manusia (Rahman, 2000).
Namun, bila kita membaca skript-skript dan sejarah agama-agama, maka di sana kita mendapatkan sebuah variabel bahwa semua agama turun untuk melawan kemiskinan, keterbelakangan, ketertindasan, dan kebodohan. Para sosok nabi adalah pembela kaum yang lemah dan tertindas (mustad'afin). Mereka menyerukan keadilan memberhangus ketimpangan, mengembangkan layar persaudaran universal mempersempit rung gerak individualisme. Dus, Islam menyimpan amunisi yang bisa dijadikan teologi bagi kaum tertindas.
Teologi kaum tertindas menekankan perubahan struktur menuju masyarakat bebas dari segenap bentuk penindasan, atau penciptaan suatu masyarakat tauhidi, di mana keadilan dan pemeratan menjadi conditio sine qua non. Masyarakat tauhidi terwujud bila tidak ada lagi  golongan yang menumpuk-numpuk harta benda, yang zalim dan aniaya.
Salah satu cita-cita sosial agama Islam adalah terjaminnya kehidupan ekonomi umatnya. 
Dalam QS; 4 ayat 9 Allah berfirman, "Janganlah kalian meninggalkan anak-anak keturunan kalian dalam keadaan miskin dan terbelakang". Fakir-miskin, anak yatim dan golongan marginal lainnya, berkali-kali disebut Allah dalam firman-Nya agar umat manusia selalu memanusiakan mereka. Bahkan secara khusus, Allah memvonis sebagai pendusta agama bagi siapa saja yang melelantarkan mereka. Juga, tidak sedikit hadits yang menyerukan betapa kaum mustad'afun ini perlu dibela kemanusiaanya. Pada kesempatan lain Allah juga mengingatkan bahwa Dia tidak akan merubah nasib suatu kaum kalau kaum tersebut tidak mau merubah nasib yang membelenggunya.
Dus, secara generik, Islam sebenarnya menyimpan daya pembebas yang luar biasa. Dalam konteks mustad'afin. Teologi pembebasan Islam tidak harus dilaksanakan secara brutal dan frontal sebagaimana sejarah Afrika dan Amerika Latin, tetapi dengan jalur yang lebih kontekstual dan menyentuh sasaran. Dalam konteks Idul Fitri, semangat pembebasan ini bisa diwujudkan dalam bentuk, misalnya, pengumpulan dana zakat untuk melakukan kampaye penyadaran kaum tertindas. Atau dalam bentuk lain seperti beasiswa, latihan keterampilan, advokasi kaum marginal, subsidi kesehatan, peduli pengungsi dan rehabilitasi sarana di wilayah konflik. Inti dari bentuk program tersebut adalah iluminasi yang melibatkan pencerahan moral-spiritual. Sehingga mereka sadar bahwa mereka tertindas, bahwa ada sistem yang mendehumanisasi, bahwa ada upaya-upaya hegemoni, dan kerenanya harus ada counter hegemony.
Meski bisa jadi tindakan ini dianggap sebagai intervensi terhadap kemandirian rakyat, tapi langkah ini mutlak dilakukan untuk memberikan pencerahan dan pembukaan mata hati terhadap realitas yang sesungguhnya terjadi. Model pendidikan ala Paulo Freire yang menekankan adanya dialektika dan circle antara teks, aksi, dan refleksi secara terus menerus, adalah sebuah tawaran yang mutlak untuk dipertimbangan (Leonard,1994).

 Hari Raya Idul Fitri ini, yang dikampayekan sebagai hari kemenangan dan pembebasan, kiranya merupakan momen yang tepat untuk memanifestasikan teologi kaum tertindas. Bukan sekedar menyantuni kaum mustad'afin secara materiil karena hanya akan memanjakan mereka. Tetapi menyadarkan akan realitas kedirian mereka untuk keluar dari ketertindasan menuju kebebasan. Juga menyadarkan kaum mapan akan hak-hak kaum mustad'afin. Inilah Elan Pembebas yang terdapat dalam relung Idul Fitri.
 





Selasa, 06 Juni 2017

Aku Mencintaimu Walaupun…


Ketika masih unyu-unyu, seseorang kerap terdera gelombang cinta. Cirinya antara lain, gelisah, susah tidur, deg-degan ketika ketemu gebetan, atau takut keluar rumah (yang ini mungkin bukan karena jatuh cinta, melainkan takut ditagih hutang oleh tetangga hehehe). Fokus kita hanya pada yang kita cinta.

Singkat kata, pacaranlah kita, eh menikahlah kita. Pada masa-masa awal, semuanya terasa indah. Ada ketulusan di sana. Ada kerelaan berkorban. Orang menyebutnya, fase bulan madu. Detik, jam, hari, pekan, dan bulan yang penuh madu. Semua terasa manis meskipun saat hujan dan kelaparan sekalipun. “Yang penting ada kamu di sampingku.”

Pada fase itu, seseorang mencintai pasangannya dengan kalimat, “Aku mencintaimu kerena…”

Karena kamu cantik. Karena kamu pintar. Karena kamu gagah. Karena kamu sabar. Karena kamu kaya. Karena kamu satu-satunya cowok yang mau sama aku. Karena bapakmu kaya. Karena tidak ada lagi perempuan di desa ini. Karena sudah lewat deadline. Dan, karena-karena yang lain, yang ketika didengar pasangan membuat dia melambung sampai lupa kalau mereka lapar dan kehujanan.

Cinta yang penuh fantasi dan imajinasi. Cinta yang lebih didasari egoisme: mencari pasangan sesuai dengan harapan hati. Cinta yang transaksional. Sah-sah saja dalam hubungan asmara.

Purnama demi purnama, bulan berganti tahun, presiden berganti presiden yang lain. Biduk cinta masih utuh mengarungi lembut, keras, arif, dan kejamnya hidup. Segala yang manis terasa indah. Segala yang pahit terasa penuh makna.  “Yang penting ada kamu di samping ku.”

Pada fase ini, masing-masing mulai menyadari kekurangan pada diri pasangan. “Ternyata dia tak secantik dulu. Ternyata dia tak sepintar yang kuduga. Ternyata dia tak segagah itu. Ternyata dia tak sesabar bayanganku. Teryata kekayaannya hanya segitu. Ternyata masih banyak yang lebih baik dari dia,” begitu batin menyadari atas pasangan hidup.

Hidup adalah pilihan dan manusia bertanggung jawab atas segala yang dia pilih. Lalu kita merenung dan memutuskan tak mungkin berpisah dengan pasangan hidup yang telah demikian lama menemani hari-hari. “Bagaimana pun dirimu, aku tetap mencintaimu.”

“Aku mencintaimu walaupun kamu tak secantik dulu. Aku mencintaimu walaupun kamu tak sepintar yang kuduga. Aku mencintaimu walaupun kamu tak segagah dulu. Aku mencintaimu walaupun kamu tak sesabar bayanganku. Aku mencintaimu walaupun masih banyak yang lebih baik dari kamu. Aku mencintaimu walaupun…”

Cinta yang penuh pemakluman. Cinta yang penuh pengertian. Cinta yang mementingkan keutuhan.
“Aku mencintaimu asal kamu enggak selingkuh.”

---00---


Dalam berbangsa dan bernegara, kita mempunyai bayangan ideal terhadap masyarakat. Dalam lubuk paling dalam dan paling instingtif, kita menginginkan semua orang bersikap, berucap, bahkan mewujud seperti yang kita inginkan. Ketika kita menemukannya, kita akan berujar, “Aku menyukaimu karena kamu seperti yang aku inginkan.”

Tetapi realitas kerap kali tidak sesuai dengan harapan kita. Kita hidup dalam masyarakat majemuk yang demikian beragam. Bukan saja perbedaan serupa, sikap, orientasi, tetapi juga kerap menemukan orang yang bahkan bertentangan dengan segala tata nilai yang kita pegang.

Ada tetangga kita yang beda agama, beda suku, beda ras, dan beda partai politik. Ada teman kita seagama, tetapi beda cara pandang terhadap agama lain. Ada istri dari teman kita yang sikapnya sama sekali jauh dari harapan kita. Bahkan sangat mungkin ada yang membenci kita karena keadaan dan sikap kita. Inilah hidup.

Apakah lalu kita akan berbalik membenci? Lalu apakah kita akan memaksa mereka untuk menjadi seperti harapan kita? Jika demikian, berat sekali hidup ini. Jika demikian, lantas dimana nilai kemanusiaan kita. Aku tak rela
Agamaku mengajarkan welas asih, cinta kasih, kelemah-lembutan. Nabi junjunganku tidak mengajarkan dendam apalagi benci. Nabiku lemah lembut dalam bertutur kata.  Tak ada guna rajin ke masjid, vihara, gereja kalau mudah membenci dan marah. Sikap kita adalah cermin kedewasaan dalam beragama.

Oleh karena itu, aku memilih cara lain, “Aku mencintaimu walaupun…”
Aku mencintai saudara sebangsa dan setanah air walaupun mereka berbeda. Aku juga mencintaimu walaupun kamu Kristen, Katholik, Buddha, Konghuchu, Islam, maupun penghayat.  Aku mencintaimu walaupun kamu Sunni, Syiah, Ahmadiyah, atau Gafatar. Aku mencintaimu walaupun kamu batak, jawa, papua, dayak, atau lainnya.”

Aku mencintaimu karena kamu manusia

Aku mencintaimu walaupun…   

Kamis, 18 Mei 2017

Prelo Memulihkan Persahabatan

M Hilmi Faiq


Telepon selular, yang tergeletak di atas meja tamu,  itu berkedip terang-gelap terang-gelap disertai getaran ringan. Sederet nomor terpampang nyala menandakan seseorang sedang menelepon. Ini mungkin yang ke tujuh atau sembilan kali telepon saya seperti itu. Saya membiarkannya sampai dia kembali tenang.

Saya sedang malas mengangkat telepon dan bahkan sampai pada taraf berdoa semoga tidak ada lagi yang menelepon. Sebab, saya tahu ini adalah hari dan tanggal pelunasan hutang kepada teman baik saya, Mas Choolis, yang uangnya saya pakai untuk membayar uang pendaftaran anak sekolah. Jumlahnya mungkin tak seberapa bagi sebagian orang, hanya Rp 3 juta. Namun bagi saya itu jumlah yang besar, apalagi di tanggal tua begint.

Gara-gara hutang itu juga, saya jadi jarang chat atau menelepon Mas Choolis seperti sebelumnya. Saya malu karena belum bisa membayar hutang. Hutang membuat hubungan kami renggang.

Setelah memandangi telepon selular tadi, mata saya tertuju pada kamera DSLR yang duduk imut di laci persis di samping meja tadi. Itu kamera hadiah lomba foto bulan lalu. Sejak kamera itu datang, dia hanya duduk imut di laci lantaran saya lebih suka memakai kamera lama yang masih prima performanya. “Mengapa tidak saya jual saja kamera hadiah itu?” pikir saya.

Tanpa menunggu lama, saya pelajari detil dan keunggulan kamera itu. Lalu saya cek harga lewat internet di berbagai marketplace. Harganya lumayan. Bila laku sesuai harapan, bisa melunasi sebagian bahkan seluruh hutang saya. Dari berbagai marketplace di internet yang saya temui, rata-rata terlalu ramai. Itu artinya saingan saya terlampau banyak sehingga kecil kemungkinan kamera saya cepat terjual. Saya lalu mencari aplikasi jual-beli lain yang mudah diakses, tetapi tidak terlalu ramai.

Hampir setengah jam berselancar mencari-cari aplikasi yang cocok, saya menemukan Prelo. Penampilannya menarik dan mudah diakses. Warna tampilan hijau muda begitu teduh dan ramah di mata. Download aplikasi ini sangat cepat karena ringan, tak sampai 10 MB. Disertai fitur chat antar penjual dan pembeli sehingga komunikasi lebih lancar. Pembeli bahkan mendapat jaminan selama tiga hari penuh jika barang tak sesuai janji penjual.
            Saya mencoba aplikasi ini dengan memposisikan diri sebagai pembeli. Biasanya butuh lima sampai enam kali klik agar saya bisa menemukan barang yang saya cari. Di Prelo, cukup tiga kali klik, sangat bersahabat. Apalagi terdapar Editor’s Pick, sejenis fitur yang menampilkan barang-barang pilihan. Cara ini bukan saja menghemat waktu, juga menekan penggunaan kuota internet.
            Yang juga saya suka, user interface (UI) Prelo sangat sederhana dan fungsional. Penyusunan layar, tombol, dan ikon tertentu begitu efisien dan bersahabat. Mata tidak perlu menyisir teralu lama untuk mencari tombol Beli atau memperbesar gambar, misalnya.
            Saya semakin jatuh cinta kepada Prelo karena penjualnya pun belum begitu ramai. Saya melihat sebagian besar yang dijual adalah barang bekas, barang preloved, dan hadiah dijual di sana. Semuanya masih begitu bagus seperti melalaui sistem kurasi yang mantap.

Saya lalu pelajari teknis dan persyaratan membuka dagangan di sana dan yakin aman.  Yang paling utama dalam jual-beli online tentu saja sistem pembayaran. Prelo menggunakan metode pembayaran modern dengan berbagai opsi baik via transfer bank, kartu kredit, maupun gerai Indomaret. Pembeli bisa juga menggunakan voucher atau Prelo Balance, sejenis deposit. Aman dan muda.

            Setelah menyiapkan narasi bernada persuasif, saya memposting foto-foto kamera saya tadi. Meskipun terbilang baru, saya memasukannya sebagai kamera bekas atau kamera second karena kardusnya sudah saya buka untuk memeriksa detil barang. Langkah pertama selesai sudah. Saya kini tinggal berdoa semoga segera ada pembeli yang tertarik kamera second milik saya.

            Sinar matahari sore menerobos tirai jendela. Hangatnya menyapa punggung saya ketika telepon selular yang terbaring di kasur tempat saya merebahkan diri itu bergetar. Ada pesan masuk lewat fasilitas chat Prelo yang isinya menanyakan harga kamera bekas milik saya. Setelah membaca dan membalas tiga kali chat, kami deal haag.

            Sekitar 15 menit kemudian, pembeli tadi mengabarkan telah mengirim sejumlah uang ke Prelo. Saya bergegas mengemas kamera, membungkusnya serapi mungkin, lalu mengirimnya dari Jakarta ke Bandung.

Dua hari kemudian, pembeli mengkonfirmasi bahwa kamera second itu sudah sampai dan befungsi bagus seperti yang saya gambarkan di Prelo. Tak lama setelah itu, saya mengambil uang lewat fitur Tarik Uang di Prelo.
Kali ini saya bergegas menelepon Mas Choolis. “Mas, jam berapa ada di rumah? Saya mau bayar hutang.”
 “Waah pas banget. Sayasedang butuh hehehe. Habis Magbrib saya di rumah. Datang saja sekalian makam malam.”

Saya senyum-senyum sendiri. Prelo bukan saja membantu saya menemukan cara baru berjualan barang bekas. Prelo turut mengembalikan harga diri saya sebagai seorang teman.

Sabtu, 13 Mei 2017

The Madness of Consumer Society

M Hilmi Faiq


KETIKA Gempa dan Tsunami menyapu seisi Aceh, masyarakat dunia seakan hanyut dalam kedukaan yang begitu dalam. Serentak, rasa kemanusiaan melaju mencapai puncaknya. Rasa kemanusiaan dan solidaritas dunia terhadap tragedi Tsunami sungguh luar biasa, bahkan mencapai level post-absurditas.

Namun bergantinya waktu seiring surutnya Tsunami, kepedulian tadi pun surut menuju titik normal seperti tatkala Tsunami belum menyapa. Media massa yang awalnya memberi porsi besar terhadap tragedi ini, kini mengurangi porsi pemberitaannya. Sementara masyarakat luas kembali beraktivitas seolah Korban Tsunami bukan lagi urusan mereka: sudah ada yang menangani. Mekera kembali ke titik absurditas, seperti hari-hari sebelumnya.

Absurditas (absurdity) menjelma menjadi sebuah kenyataan historis dalam kehidupan masyarakat dunia ketika kepalsuan, kepura-puraan, dan simulasi menjadi pilihan strategi di dalam berbagai panggung politik, sosial, dan kebudayaan dalam skala global. Di dalamnya, absurditas menjadi sebuah ideologi, strategi, bahkan jalan hidup-the absurdity of politics (Yasraf Amir Piliang, "Post-Absurdity", Kompas, 13/1/ 2005).

Di era post-modern ini, tonggak absurditas yang paling mencolok adalah aktivitas belanja (to consume). Lihatlah, masyarakat luas tergopoh-gopoh membeli segala hal yang sebenarnya tidak begitu mereka butuhkan fungsinya, hanya demi meningkatkan gengsi dan prestige. Perhatikan, di setiap sudut kota, aroma konsumerisme terasa begitu kuat. Mall, department store, swalayan, serta tempat sejenis lainnya penuh sesak dengan nafas-nafas manusia yang menggapai lembaran-lembaran prestige

            Di jaman ini, sulit mencari sosok yang tak doyan belanja (to consume). Terutama mereka yang berada pada puncak piramida secara ekonomi. Belanja, menjadi aktivitas vital bagi manusia sekarang, guna mencari dan mempertahankan prestige di tengah masyarakat. Tanpannya, eksistensi seseorang menjadi tereduksi. Separahkan itukah?

            Aktivitas belanja, bukan lagi menekankan pada titik fungsi sebagaimana pada awalnya, tetapi lebih merupakan simbol seseorang untuk diakui keberadaannya. Setali tiga uang dengan itu, masyarakat memang telah terseret dan terhipnotis untuk menilai manusia lain hanya dari simbol-simbol yang melekat pada dirinya. Inilah yang dikatakan Jean Baudrillard sebagai kelahiran dunia simulasi (simulacrum).

            All that is solid melts into air (Karl Marx) All that is solid melts into glass (Charles Jencks) All that is real becomes simulation (Jean Baudrillard) Semua yang nyata kini menjadi simulasi. Ungkapan bernada hiperbolik tersebut barangkali merupakan satu-satunya cara untuk menggambarkan realitas masyarakat dewasa ini seperti yang dikemukakan oleh Baudrillard (Hidayat, 2001). Dua ratus tahun sebelum Jean Baudrillard  mengeluarkan diktum tersebut, Marx berujar bahwa betapa semua yang padat segera menguap ke udara. 

                Dictum Marx tadi merupakan refleksi atas keadaan jaman yang hanya mengedepankan uang, dan segalanya dijadikan komoditas. Segalanya dikorbankan demi nilai tukar. Tidak ada lagi nilai moral, religi, sublim, transendensi. Semua tunduk di bawah aura nilai tukar uang. Selang beberapa puluh tahun kemudian, peradaban manusia menapaki jenjang baru, yakni era kemenangan dan supremsi teknologi. Segera, terjadi revolusi kesadaran  maha dasyat, puncaknya adalah tatkala media elektronik televisi ditemukan. 
                Masyarakat sadar sekaligus terbuai dalam alunan peradaban baru tentang dunia yang mengecil. Dimensi ruang dilipat dalam sebuah kotak layar kaca. Selamat datang “dunia yang dilipat”! Televisi kemudian menjadi pusat daya tarik baru yang luar biasa pengaruhnya terhadap segenap pola pikir dan prilaku manusia modern.  Dia menawarkan secara sekaligus akan kesedihan, luka, mimpi indah, kegembiraan dan harapan.

Segera, televisi—Yasraf juga melibatkan disket, komputer, serta New York sebagai metafor dunia yang dilipat—menggeser peran komoditi tradisional Marx. Maka tidak berlebihan kalau kemudian Charles Jencks merepetisi dam mengubah diktum Marx,  All that is solid melts into glass. Dalam dunia yang dilipat ini (televisi) segala hayalan dan bahkan fenomena kemanusiaan dikemas sebagai tonotonan dan hiburan (spectacle and entertaimnet). Di dalam layar kaca televisi, segala sesuatu berita politik, film telenovela, opera sabun, bencana alam, acara keagamaan dikemas dalam kerangka tontonan yang menghibur. Tak ada lagi kekhusukan. Tak ada lagi kekudusan, kerinduan terhadap makna luhur dan kedalaman. Kini, dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang dahsyat, menurut Baudrillard, tidak hanya nilai-nilai sublim dan luhur yang menguap, tapi bahkan realitas itu sendiri. Realitas kini tidak sekedar dapat diceritakan, direpresentasikan dan disebarluaskan. Lebih jauh, realitas kini dapat dibuat, direkayasa dan disimulasi (Hidayat, 2001).

Televisi, disket, komputer atau pun metafor lainnya bukan lagi sebagai cerminan realitas sosial kemasyarakatan sebagaimana fungsinya yang dulu. Tetapi masyarakatlah yang berbalik menjadi cermin atas metafor-metafor tersebut. Perhatikan, tidak ada realitas fisik maupun simbolik di sekitar kita yang bukan hasil identifikasi, imitasi, adopsi, dan adaptasi citra-citra yang ditawarkan dan ditampilkan televisi. Kita, atau bahkan tetangga kita, terutama yang tinggal di daerah urban, merasa lebih kenal dan dekat dengan Bratt Pit, Keanu Reeves, Richard Gere, Jonny Deep, Agnes Monica, Siti Nur Halizah, Tantowi Yahya, atau pun Nafa Urbach daripada tetangga sendiri. Merekalah yang kita gauli sehari-hari, lebih daripada tetangga kita. Karena mereka telah menjadi bagian itegral agenda kapitalis untuk menyihir konsumen (pemirsa) dengan mengedepankan elegansi, prestige, dan mode.


Tragedi ini sekaligus menandakan kejayaan kapitalisme lanjut (late capitalism) yang didukung sepenuhnya oleh progesifitas ilmu dan teknologi, utamanya dalam bentuk kreativitas media dan iklan. Ledakan iklan mengijeksi citra-citra secara indoktrinatif ke dalam diri publik dengan bahasa-bahasa semiotik yang amat persuasif. Kapitalisme mutakhir telah berhasil menyeret hasrat manusia untuk membangun identitas berdasarkan simbol—perbedaan gaya, penampilan, dan produk yang dikonsumsi. Seseorang akan dinilai serta dihormati tergantung dari simbol yang melekat pada dirinya. Semakin konsumtif dan berpunya (the have), maka dia semakin mampu menampilkan citra elegan dan prestige. Diferensiasi ini membawa manusia kontemporer memasuki realitas semu yang dia sendiri tidak tahu kapan akan berakhir. 

Kata kunci yang dihembuskan kapitalisme dalam konteks ini adalah “peremajaan”. Antitesis peremajaan berbau “tua”, “usang”, “out of date” menjadi simptom traumatik, maka lahirlah fitness center, salon kecantikan, body language, serta produk-produk yang mampu menyembunyikan “ketuaan”, yang semua itu hanya mampu didapat merlalui aktivitas konsumsi. Untuk menghindari “ketuaan” tadi masyarakat konsumer berbondong-bondong mengkonsumsi segala jenis produk yang ditawarkan, semua itu hanya demi citra “up to date”.


Padahal jauh hari seorang kritikus Amerika, Marsall Berman, dalam All that is solid melts into air mengingatkan, bahwa kemajuan yang dijanjikan oleh modernitas kapitalisme, pada kenyataannya tidak lebih dari sekadar “kemajuan semu.” Modernitas menawarkan penjelajahan dalam kebaruan, dan transformasi dalam kehidupan: menjanjikan sebuah kehidupan utopis yang adil dan makmur, mencoba menyatukan dunia: namun, pada kenyataannya ia hanya menghasilkan penghancuran diri—tradisi, kepercayaan, kebudayaan etnik: ia hanya menghasilkan kesatuan dalam ketidakbersatuan. Manusia modern pada hakikatnya telah digiring ke dalam sebuah ruang kontradiksi (Berman, 1983: 15 dalam Ibrahim et.al., 2004). Bahkan, Paul Virilio menegaskan bahwa agresifitas dan progresifitas aktivitas konsumsi di atas adalah kegiatan adventurous sekaligus pengalaman estetis yang sia-sia.


Sebagai respon atas fenomena di atas, kemudian Kuntowijoyo mengintrodusir formulasi untuk menghadap massifikasi budaya konsumsi yang nyaris tak subkultur tandingan (counter-sub-culture) tadi. Pertama, meneguhkan kembali citra diri melalui spiritualitas. Nilai-nilai trasendental dalam spiritualitas sampai saat ini masih dipercaya mampu mengikis hasrat duniawi yang berlebih.  Bahkan pada level tertentu, atribut-atribut keagamaan juga efektif dijadikan tameng atas derasnya terpaan budaya massa, dalam hal ini, konsumsi.


Kedua, dengan cara privatisasi. Upaya ini penting untuk membanngun dan membentengi citra diri sehingga tidak mudah terjebak oleh godaan laju citra-citra yang menyesatkan, dan menghindar dari penyakit budaya massa. Privatisasi dapat berupa mengoleksi barang antik tertentu, atau aktivitas yang menjanjikan privacy dan trade mark diri.


Ketiga, elitisasi budaya. Elitisasi budaya merupakan proses transformasi budaya lokal yang sarat akan local genius, local wisdom dan local knowledge ke dalam strata sosial yang lebih tinggi. Dengan demikian, upaya ini diharapkan mampu menghentikan laju massifikasi budaya yang miskin nilai-nilai luhur.



Ala kulli hal, betapa pun  Berman, Virilio dan Kuntowijoyo telah mengingatkan dan mengintrodusir formulasi di atas, nampaknya tidak membuahkan hasil signifikan. Karena sekarang ini, masyarakat tetap akan menjadikan kegilaan berbelanja sebagai rutinitas “mulia.”