M Hilmi Faiq
KETIKA Gempa dan Tsunami
menyapu seisi Aceh, masyarakat dunia seakan hanyut dalam kedukaan yang begitu
dalam. Serentak, rasa kemanusiaan melaju mencapai puncaknya. Rasa kemanusiaan
dan solidaritas dunia terhadap tragedi Tsunami sungguh luar biasa, bahkan mencapai
level post-absurditas.
Namun
bergantinya waktu seiring surutnya Tsunami, kepedulian tadi pun surut menuju
titik normal seperti tatkala Tsunami belum menyapa. Media massa yang awalnya
memberi porsi besar terhadap tragedi ini, kini mengurangi porsi pemberitaannya.
Sementara masyarakat luas kembali beraktivitas seolah Korban Tsunami bukan lagi
urusan mereka: sudah ada yang menangani. Mekera kembali ke titik absurditas,
seperti hari-hari sebelumnya.
Absurditas
(absurdity) menjelma menjadi sebuah kenyataan historis dalam kehidupan
masyarakat dunia ketika kepalsuan, kepura-puraan, dan simulasi menjadi pilihan
strategi di dalam berbagai panggung politik, sosial, dan kebudayaan dalam skala
global. Di dalamnya, absurditas menjadi sebuah ideologi, strategi, bahkan jalan
hidup-the absurdity of politics (Yasraf Amir Piliang, "Post-Absurdity", Kompas, 13/1/ 2005).
Di era
post-modern ini, tonggak absurditas yang paling mencolok adalah aktivitas
belanja (to consume). Lihatlah, masyarakat luas tergopoh-gopoh membeli
segala hal yang sebenarnya tidak begitu mereka butuhkan fungsinya, hanya demi
meningkatkan gengsi dan prestige. Perhatikan, di setiap sudut kota,
aroma konsumerisme terasa begitu kuat. Mall, department store, swalayan,
serta tempat sejenis lainnya penuh sesak dengan nafas-nafas manusia yang
menggapai lembaran-lembaran prestige.
Di jaman ini, sulit mencari sosok yang tak doyan belanja
(to consume). Terutama mereka yang berada pada puncak piramida secara
ekonomi. Belanja, menjadi aktivitas vital bagi manusia sekarang, guna mencari
dan mempertahankan prestige di tengah masyarakat. Tanpannya, eksistensi
seseorang menjadi tereduksi. Separahkan itukah?
Aktivitas belanja, bukan lagi menekankan pada titik
fungsi sebagaimana pada awalnya, tetapi lebih merupakan simbol seseorang untuk
diakui keberadaannya. Setali tiga uang dengan itu, masyarakat memang telah
terseret dan terhipnotis untuk menilai manusia lain hanya dari simbol-simbol
yang melekat pada dirinya. Inilah yang dikatakan Jean Baudrillard
sebagai kelahiran dunia simulasi (simulacrum).
All that is solid melts into air (Karl Marx)
All that is solid melts into glass (Charles Jencks) All that is real
becomes simulation (Jean Baudrillard) Semua yang nyata kini menjadi simulasi.
Ungkapan bernada hiperbolik tersebut barangkali merupakan satu-satunya cara
untuk menggambarkan realitas masyarakat dewasa ini seperti yang dikemukakan
oleh Baudrillard (Hidayat, 2001). Dua ratus tahun sebelum Jean Baudrillard mengeluarkan diktum tersebut, Marx berujar
bahwa betapa semua yang padat segera menguap ke udara.
Dictum Marx tadi
merupakan refleksi atas keadaan jaman yang hanya mengedepankan uang, dan
segalanya dijadikan komoditas. Segalanya dikorbankan demi nilai tukar. Tidak
ada lagi nilai moral, religi, sublim, transendensi. Semua tunduk di bawah aura
nilai tukar uang. Selang beberapa puluh tahun kemudian, peradaban manusia
menapaki jenjang baru, yakni era kemenangan dan supremsi teknologi. Segera,
terjadi revolusi kesadaran maha dasyat,
puncaknya adalah tatkala media elektronik televisi ditemukan.
Masyarakat sadar
sekaligus terbuai dalam alunan peradaban baru tentang dunia yang mengecil.
Dimensi ruang dilipat dalam sebuah kotak layar kaca. Selamat datang “dunia yang
dilipat”! Televisi kemudian menjadi pusat daya tarik baru yang luar biasa
pengaruhnya terhadap segenap pola pikir dan prilaku manusia modern. Dia menawarkan secara sekaligus akan
kesedihan, luka, mimpi indah, kegembiraan dan harapan.
Segera,
televisi—Yasraf juga melibatkan disket, komputer, serta New York sebagai
metafor dunia yang dilipat—menggeser peran komoditi tradisional Marx. Maka
tidak berlebihan kalau kemudian Charles Jencks merepetisi dam mengubah diktum
Marx, All that is solid melts into
glass. Dalam dunia yang dilipat ini (televisi) segala hayalan dan bahkan
fenomena kemanusiaan dikemas sebagai tonotonan dan hiburan (spectacle and
entertaimnet). Di dalam layar kaca televisi, segala sesuatu berita politik,
film telenovela, opera sabun, bencana alam, acara keagamaan dikemas dalam
kerangka tontonan yang menghibur. Tak ada lagi kekhusukan. Tak ada lagi
kekudusan, kerinduan terhadap makna luhur dan kedalaman. Kini, dengan kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi yang dahsyat, menurut Baudrillard, tidak
hanya nilai-nilai sublim dan luhur yang menguap, tapi bahkan realitas itu
sendiri. Realitas kini tidak sekedar dapat diceritakan, direpresentasikan dan
disebarluaskan. Lebih jauh, realitas kini dapat dibuat, direkayasa dan
disimulasi (Hidayat,
2001).
Televisi, disket, komputer
atau pun metafor lainnya bukan lagi sebagai cerminan realitas sosial
kemasyarakatan sebagaimana fungsinya yang dulu. Tetapi masyarakatlah yang
berbalik menjadi cermin atas metafor-metafor tersebut. Perhatikan, tidak ada
realitas fisik maupun simbolik di sekitar kita yang bukan hasil identifikasi,
imitasi, adopsi, dan adaptasi citra-citra yang ditawarkan dan ditampilkan
televisi. Kita, atau bahkan tetangga kita, terutama yang tinggal di daerah
urban, merasa lebih kenal dan dekat dengan Bratt Pit, Keanu Reeves, Richard
Gere, Jonny Deep, Agnes Monica, Siti Nur Halizah, Tantowi Yahya, atau pun Nafa
Urbach daripada tetangga sendiri. Merekalah yang kita gauli sehari-hari, lebih
daripada tetangga kita. Karena mereka telah menjadi bagian itegral agenda kapitalis
untuk menyihir konsumen (pemirsa) dengan mengedepankan elegansi, prestige,
dan mode.
Tragedi ini
sekaligus menandakan kejayaan kapitalisme lanjut (late capitalism) yang
didukung sepenuhnya oleh progesifitas ilmu dan teknologi, utamanya dalam bentuk
kreativitas media dan iklan. Ledakan iklan mengijeksi citra-citra secara
indoktrinatif ke dalam diri publik dengan bahasa-bahasa semiotik yang amat
persuasif. Kapitalisme mutakhir telah berhasil menyeret hasrat manusia untuk
membangun identitas berdasarkan simbol—perbedaan gaya, penampilan, dan produk
yang dikonsumsi. Seseorang akan dinilai serta dihormati tergantung dari simbol
yang melekat pada dirinya. Semakin konsumtif dan berpunya (the have),
maka dia semakin mampu menampilkan citra elegan dan prestige.
Diferensiasi ini membawa manusia kontemporer memasuki realitas semu yang dia
sendiri tidak tahu kapan akan berakhir.
Kata kunci yang dihembuskan kapitalisme
dalam konteks ini adalah “peremajaan”. Antitesis peremajaan berbau “tua”,
“usang”, “out of date” menjadi simptom traumatik, maka lahirlah fitness
center, salon kecantikan, body language, serta produk-produk yang
mampu menyembunyikan “ketuaan”, yang semua itu hanya mampu didapat merlalui
aktivitas konsumsi. Untuk menghindari “ketuaan” tadi masyarakat konsumer
berbondong-bondong mengkonsumsi segala jenis produk yang ditawarkan, semua itu
hanya demi citra “up to date”.
Padahal jauh hari
seorang kritikus Amerika, Marsall Berman, dalam All that is solid melts into
air mengingatkan, bahwa kemajuan yang dijanjikan oleh modernitas
kapitalisme, pada kenyataannya tidak lebih dari sekadar “kemajuan semu.”
Modernitas menawarkan penjelajahan dalam kebaruan, dan transformasi dalam
kehidupan: menjanjikan sebuah kehidupan utopis yang adil dan makmur, mencoba
menyatukan dunia: namun, pada kenyataannya ia hanya menghasilkan penghancuran
diri—tradisi, kepercayaan, kebudayaan etnik: ia hanya menghasilkan kesatuan
dalam ketidakbersatuan. Manusia modern pada hakikatnya telah digiring ke dalam
sebuah ruang kontradiksi (Berman, 1983: 15 dalam Ibrahim et.al., 2004). Bahkan,
Paul Virilio menegaskan bahwa agresifitas dan progresifitas aktivitas konsumsi
di atas adalah kegiatan adventurous sekaligus pengalaman estetis yang
sia-sia.
Sebagai respon atas
fenomena di atas, kemudian Kuntowijoyo mengintrodusir formulasi untuk menghadap
massifikasi budaya konsumsi yang nyaris tak subkultur tandingan (counter-sub-culture)
tadi. Pertama, meneguhkan kembali citra diri melalui spiritualitas.
Nilai-nilai trasendental dalam spiritualitas sampai saat ini masih dipercaya
mampu mengikis hasrat duniawi yang berlebih.
Bahkan pada level tertentu, atribut-atribut keagamaan juga efektif
dijadikan tameng atas derasnya terpaan budaya massa, dalam hal ini, konsumsi.
Kedua, dengan
cara privatisasi. Upaya ini penting untuk membanngun dan membentengi citra diri
sehingga tidak mudah terjebak oleh godaan laju citra-citra yang menyesatkan,
dan menghindar dari penyakit budaya massa. Privatisasi dapat berupa mengoleksi
barang antik tertentu, atau aktivitas yang menjanjikan privacy dan trade
mark diri.
Ketiga, elitisasi
budaya. Elitisasi budaya merupakan proses transformasi budaya lokal yang sarat
akan local genius, local wisdom dan local knowledge ke
dalam strata sosial yang lebih tinggi. Dengan demikian, upaya ini diharapkan
mampu menghentikan laju massifikasi budaya yang miskin nilai-nilai luhur.
Ala kulli
hal, betapa pun Berman, Virilio dan
Kuntowijoyo telah mengingatkan dan mengintrodusir formulasi di atas, nampaknya
tidak membuahkan hasil signifikan. Karena sekarang ini, masyarakat tetap akan
menjadikan kegilaan berbelanja sebagai rutinitas “mulia.”